Rabu, 10 Februari 2010

“Kita tidak pernah bisa menentukan cara kita menghadap Sang Khalik”

Oleh: Fifi Fiana (Fiana B. Soegondo)
Cinere, 10 Februari 2010
Posting: fififiana@blogspot.com and face book: fifi fiana


Hari ini, Rabu 10 Februari 2010 – saya masih berada di rumah dan belum kembali bekerja setelah wafatnya ayahanda kami Ir. H. Aradea Atmawidjaja bin Husni Atmawidjaja pada hari Senin (pahing) 8 Februari 2010 sekitar jam 8 pagi dalam usia 76 tahun 3 bulan.

Tulisan ini tidak akan bercerita bagaimana kepedihan hati kami anak-anak yang ditinggal meninggal orang tuanya, akan tetapi saya ingin berbagi cerita sebagai pengalaman hidup kepada siapapun yang membaca tulisan saya ini, bahwa kita – manusia bukanlah penentu bagaimana cara kita menghadap Sang Khalik – Allah swt dan bagamana kita dimakamkan.

Ayah kami adalah keturunan Banten. Dari silsilah keluarga yang pernah diberikan kepada saya pada saat beliau merayakan ulang tahun beliau yang ke 73 tahun, saya baru mengetahui ternyata kami satu garis keturunan dari Sultan Banten ke-6. Mungkin karena kami lahir dan tumbuh besar di alam kemerdekaan Republik Indonesia, kami tidak terlalu memperhatikan lagi pentingnya silsilah keluarga. Itu pun ternyata kami salah, bagaimanapun mengerti siapa leluhur kita, penting bagi kita, untuk kita mengetahui dari mana sebenarnya asal kita. Terutama apabila telah terjadi pernikahan antar suku.

Kembali kepada tujuan saya menulis pagi ini, bahwa selama kurang lebih 6 (enam) tahun saya dan suami pernah mendapatkan kesempatan dari Allah swt untuk mengurus ayah kami dan saudara-saudara saya juga mendapatkan kesempatan mengurus beliau selama 1 (satu) tahun.

Dalam masa 6 (enam) tahun tersebut, Bapak (demikian saya dan saudara-saudara kandung kami memanggil beliau), banyak memberikan informasi kepada saya, terlebih sejak kelas 2 (dua) SMA saya tidak lagi tinggal dengan beliau.

Tidak akan lekang dari ingatan saya ketika beberapa tahun yang lalu beliau memberikan sebuah dokumen kepada saya, sambil memberikan penjelasan “Fi…walaupun sudah tua renta dan tidak memiliki apapun, bapakmu ini pernah mempunyai jabatan yang lumayan di Dinas Tata Kota DKI, sehingga Bapak berhak mendapatkan kavling pemakaman di Pemakaman Karet Bivak dan ini dokumennya, sambil Bapak memberikan semacam kartu warna coklat tua kepada saya,” dan dalam kartu tersebut benar menyebutkan hal yang dijelaskan Bapak kepada saya terkait hak beliau mendapatkan tanah pemakaman di karet – bivak Jakarta bila beliau meninggal. Tiga orang nama anak yang tersebut di dalam kartu tersebut adalah nama adik perempuan saya satu-satunya dan dua orang adik kembar saya yaitu: Sizzya, Dani Prayoga dan Hani Pryangga.

Seperti kebanyakan anak yang menghadapi orang tuanya yang telah tua (dan seringkali kita menganggap mereka telah pikun) saat itu saya terima kartu coklat tersebut dari tangan Bapak dan kemudian saya simpan di laci lemari pakaian saya. Hingga suatu hari saya berikan kartu tersebut kepada adik perempuan kami – Sizzya.

Pertengahan tahun 2008, Bapak juga meminta saya melunasi biaya keanggotaan di Yayasan Bunga Kamboja. Kata beliau saat itu “Fi..Bapak sudah tua dan tidak punya uang untuk membayar keanggotaan Yayasan Bunga Kamboja, jadi tolong kamu bayarkan ya…biar kalau Bapak meninggal nanti, mereka yang akan bantu pengurusan dan insyaAllah prosesnya akan cepat.” Lagi-lagi saat itu saya hanya menjawab dengan singkat “ya Pak” dan sejak itu saya dengan meminta bantuan supir kami, selalu membayarkan iuran Yayasan Bunga Kamboja tersebut.

Beberapa tahun yang lalu juga, ketika setelah Idul Fitri Bapak terkena stroke ringan dan sempat dirawat beberapa waktu d RS Fatmawati Jakarta, saya meminta bantuan ibu saya yang selalu saya panggil dengan mamah untuk membelikan perlengkapan menghadapi kematian, seperti kain kafan, bendera kuning, kan batik dll. Pertanyaan mamah saat itu “ngapain sih teh, kamu beli kain batik, kain kafan dll??” Dengan santai pula saat itu saya menjawab: “jaga-jaga mah kalau Bapak ada apa-2 dan meninggal mendadak, karena khan rumah saya jauh. Kalau ada apa-apa dan Bapak meninggal mendadak – saya pasti kebingungan untuk persiapannya.” Perlengkapan tersebut dengan rapih saya simpan di salah satu lemari yang kami miliki di rumah.

Pada tahun 2009, Bapak juga pernah menunjukkan kepada saya bahwa ia punya bintang gerilya Perang Kemerdekaan, tapi saat itu saya anggap angin lalu. Akan tetapi kemarin hari Selasa 9 Februari 2010, saya baru benar-benar menyadari bahwa bintang gerilya yang Bapak tunjukkan ke saya adalah benar-benar bintang gerilya Perang Kemerdekaan.

Hari Senin 8 Februari 2010, ketika secara mendadak saya mendapat khabar Bapak kritis, dan harus meninggalkan breakfast meeting menuju RS Fatmawati Jakarta, saya bisa terlihat agak tenang ketika meninggalkan rapat. Sampai di bawah jembatan dekat sekolah High Scope TB Simatupang Jakarta, lagi-lagi saya mendapat telepon dari Nonon (demikian saya memanggil adik perempuan saya Sizzya), yang langsung nangis histeris. Saat itu saya hanya mengatakan “Bapak sudah tidak ada ya Non?? Inna lillahi wainna ilaihi rojiuun, iya Non, sebentar lagi teteh sampai di Rumah Sakit.”

Setiba di rumah sakit saya bergegas ke UGD, disitu saya melihat Nonon menangis yang luar biasa dan sulit untuk saya ungkapkan dengan tulisan, demikian juga dengan pembatu yang merawat Bapak kurang lebih 10 tahun terakhir (Imah). Sebagai umat muslim, kata-kata yang keluar pertama dari bibir saya adalah pertanyaan:”Mbak Imah, apakah sebelum Bapak tidak ada, apakah Bapak sempat berdo’a?”. Mbak Imah pun menjawab: “sempat bu, begitu aki merasa lemas, aki terus menerus berdo’a, istigfar, Allahu Akbar, La ilaa ha illalah dan dzikir.” Rasanya hati saya agak tenang, karena walaupun kami anak-anaknya tidak sempat mendampingi beliau, Bapak meninggal – insyaAllah dalam keadaan Islam dengan menyebut nama Allah, amiin.

Setelah itu baru saya melihat jenazah almarhum, yang Alhamdulillah dan subhanallah di mata saya anaknya, wajah almarhum demikian damai seperti tertidur pulas dan semuanya tertutup dengan sangat rapat.

Pertanyaan saya berikutnya kepada Imah saat itu, kalau Bapak sakit, kenapa kami anak-anaknya tidak diinfokan? Ternyata, pagi itu tujuan Bapak ke RS Fatmawati untuk kontrol rutin penyakit diabetes nya yang sudah diderita kurang lebih 40 tahun terakhir, termasuk Bapak juga pengidap jantung koroner. Bahkan menurut penjelasan Imah, Bapak masih sempat instruksi ke Imah soal harus pergi ke lab yang mana, artinya sampai dengan saat menjelang sakaratul maut menjemput – Bapak juga masih bicara.

Dengan segera kami berkoordinasi dengan 4 (empat) saudara laki-laki saya yang lain, untuk memastikan bahwa jenazah Bapak dapat dimakamkan dalam hari yang sama.

Dalam proses tersebut, akhirnya kami memutuskan menggunakan Yayasan Bunga Rampai yang ada di RS Fatmawati, juga kami memutuskan jenazah segera dibawa pulang, dimandikan di rumah duka (kebetulan di rumah kami), dan dimakamkan di taman pemakaman Jeruk Purut Jakarta Selatan. Ketika proses keputusan tersebut diambil, sebenarnya hati saya bertanya-tanya, mengapa Bapak tidak dimakamkan di Karet – Bivak? Kenapa Bapak tidak diurus oleh Yayasan Bunga Kamboja? Dan banyak pertanyaan lain yang muncul dalam diri saya. Akan tetapi, semua keputusan pengurusan dimana Bapak akan dimakamkan – memang saya serahkan kepada 4 orang saudara laki-laki saya.

Ternyata, manusia dapat berencana apa yang harus dilakukan setelah ia meninggal, akan tetapi ternyata ketentuan Allah lah yang tetap berjalan. Almarhum Bapak tidak dimakamkan di Karet – Bivak sesuai haknya sebagai salah satu pegawai dinas Tata Kota DKI dengan jabatan yang boleh dibilang baik pada eranya ataupun di Taman Makam Pahlawan karena beliau pemegang bintang gerilya, dan juga tidak dibantu pengurusannya oleh Yayasan Bunga Kamboja dimana untuk beberapa tahun terakhir almarhum Bapak menjadi anggota.

Dengan diantar banyak sekali kerabat, teman, kolega kerja dari para putra dan putrinya, disholatkan jenazah yang dipimpin oleh anak lelakinya, diterima jenazahnya oleh anak lelakinya dan keponakannya serta dibacakan do’a oleh anak lelakinya, almarhum Bapak dimakamkan dengan lancar di taman pemakaman Jeruk Purut Jakarta Selatan pada hari Senin 8 Feb 2010 sekitar jam 14.00.

Tiba-tiba..terlintas dalam ingatan kami dalam salah satu Majlis Taklim keluarga – ustadz kami ustadz Yahya mengatakan “Jangan pernah merencanakan kematian anda dengan cara tertentu, atau merencanakan nanti jika anda meninggal diurus dengan cara tertentu, karena jika kita meninggal, semua urusan kita, menjadi urusan keluarga yang masih hidup. Kita tidak akan pernah tahu dalam keadaan apa kita meninggal, dimana kita meninggal dan dengan cara apa kita dimakamkan termasuk dimana kita akan dimakamkan.”
Dengan segala kesedihan dihati – sekalipun saya telah ikhlas, hari ini saya menyadari perkataan Ustadz Yahya benar adanya.
Hari-hari ini, dengan kemampuan yang ada, saya dan saudara-2 kandung yang lain hanya bisa mendo’akan almarhum Bapak untuk mendapatkan tempat yanglayak disisi Allah swt dan diampuni dosa-dosanya, amiin. Do’a kami hanyalah Ya Allah berilah kami kekuatan untuk terus dapat mendo’akan almarhum serta mengurus makam almarhum dan dapat mengurus ibu kami yang masih ada dan menjelang 71 tahun usianya, demikian juga dapat mengurus anak-anak kami menjadi anak yang soleh ataupun solehah,amiin

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya, menjadikan hal yang baik sebagai pelajaran yang patut ditiru dan menutup ingatan kita akan hal yang kurang baik. Dan mudah-mudahan kita menjadi orang yang lebih baik dalam ilmu pengetahuan dan agama setiap saatnya, amiin.

Sabtu, 23 Januari 2010

Bapak Arifin Panigoro yang saya kagumi

Oleh: Fifi Fiana (Fiana B. Soegondo)
Cinere, 24 Januari 2010
Posting: fififiana@blogspot.com and face book: fifi fiana

Hari ini banyak orang mengenal nama Bapak Arifin Panigoro – beliau terkenal sebagai salah satu anak bangsa yang berhasil. Jika orang berbicara tentang MedcoEnergi group ataupun PT Medco Energi Internasional Tbk, ataupun nama-nama anak perusahaan yang memakai unsur nama Medco atau MedcoEnergi, maka asosiasi banyak orang selalu langsung kepada beliau – Bapak Arifin Panigoro.

Beberapa hari yang lalu, saya menerima undangan dari Institut Teknologi Bandung (“ITB”), ketika saya buka undangan tersebut ternyata isinya adalah undangan pemberian gelar Doktor Kehormatan dari ITB kepada Bapak Ir. Arifin Panigoro. Walaupun saya berniat ingin hadir, tentunya tetap sebagai seorang istri saya harus meminta izin dan mengajak suami saya pergi bersama menghadiri acara tersebut. Terlebih saya tahu, ketika undangan tersebut saya terima suami saya sedang berada di Bali untuk keperluan dinas dan baru akan kembali hari Jum’at malam atau Sabtu pagi. Akan tetapi, hati kecil saya mengatakan lain, saya yakin suami saya akan mengatakan ‘ya’ untuk hadir di acara tersebut. Alhamdulillah, akhirnya suami saya dapat memberikan konfirmasi, bahwa ia dapat mempercepat urusan pekerjaannya dan berjanji hari Jum’at sore sudah berada di Jakarta. Walhasil, saya sibuk menyiapkan pakaian setelan jas dan baju batik untuk dipakai oleh suami saya dan kebaya untuk dipakai oleh saya sendiri.

Jum’at sore, saya mencoba menelepon mbak Cisca yang lebih dari 20 tahun terakhir melayani pak Arifin Panigoro sebagai sekretaris atau menurut pendapat saya lebih tepat disebut sebagai ‘Personal Assistant’ Bapak Arifin Panigoro untuk melakukan rekonfirmasi tentang pakaian yang harus digunakan. Sangat disayangkan beberapa kali saya mencoba menelepon tidak berhasil, akhirnya saya memutuskan menelepon mbak Dessy Mona – sekretaris Bapak Hilmi Panigoro, yang memberikan konfirmasi kepada saya bahwa pakaian yang harus dikenakan adalah Jas untuk lelaki dan kebaya untuk perempuan.

Jum’at malam kami sudah berada di Bandung, kami langsung istirahat untuk memastikan pada Sabtu pagi kami tidak akan telat tiba di ITB, mengingat saya harus mengenakan kebaya dan datang lebih pagi. Alhamdulillah hari Sabtu 23 Januari 2010, jam 7.50 pagi,kami telah tiba di parkiran aula barat ITB, dan langsung masuk menuju aula barat tempat upacara pelaksanaan pemberian gelar Doktor Kehormatan akan dilaksanakan.

Kebetulan sekali, saya dan suami duduk di sebelah seorang alumni ITB, dari obrolan sebelum dimulainya acara, saya terkaget-kaget mendengar penjelasan alumni ITB tersebut, bahwa ITB sangat sulit memberikan gelar Doktor Kehormatan. Didorong rasa penasaran, akhirnya saya membuka kantong kertas yang diberikan panitia dan diletakkan di setiap kursi undangan, yang isinya buku yang berisikan teks pidato ilmiah pak Arifin Panigoro dengan judul “berbisnis itu tidak mudah” dan buku tentang proses pemberian gelar Doktor Kehormatan tersebut. Satu hal yang luar biasa adalah dalam kurun waktu 60 (enam puluh) tahun terakhir hanya 7 (tujuh) orang yang diberikan gelar Doktor Kehormatan oleh ITB dimulai dengan pemberian gelar Doktor Kehormatan kepada Bung Karno – presiden pertama RI; dilanjutkan kepada Dr. Ir.Sediatmo (jika kita melewati toll ke arah Priok – anda akan melihat nama ini); Prof Dr. Ir. J. Rooseno yang sangat terkenal; Dr Soetardjo Sigit; Dr. Ir. Hartarto Sastrosoenarto (salah satu menteri di era presiden Soeharto) dan Prof Dr Emil Salim yang sangat terkenal sebagai salah satu tokoh lingkungan hidup. Tiba-tiba bulu kuduk saya berdiri, antara rasa bangga, terharu dan lain sebagainya.
Pernyataan beliau bahwa penganugerahan gelar Doktor Kehormatan yang diberikan ITB sebenarnya tidak hanya ditujukan kepada dirinya, akan tetapi juga kepada mereka yang telah memlih berkontribusi kepada masyarakat melalui kegiatan inovatif dengan mendirikan dan mengembangkan usaha yang mandiri. Menunjukkan sikap ‘orang besar’ yaitu orang yang dapat menghargai orang lain bahwa dengan secara tidak langsung (dalam perseps saya), beliau ingin menyampaikan bahwa tidak hanya seorang Arifin Panigoro yang dapat berkontribusi bagi negara tercinta RI ini, tapi juga banyak orang lainnya yang telah melakukan hal yang sama, selain itu pak Arifin juga ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh team yang membantunya selama ini.

Dalam pidato penutupan pun, Rektor ITB menyampaikan bahwa upaya mengusulkan gelar Doktor kepada Ir. Arifin Panigoro dimulai sejak 6 (enam tahun yang lalu). Hal ini membuktikan bahwa memang tidak mudah menjadi orang pilihan mendapatkan gelar tersebut dari ITB.

Hampir 20 tahun bergabung bersama MedcoEnergi group, dimulai dengan perusahaan pengeborang minyak, yang kemudian melakukan IPO dan berkembang kepada banyak usaha lainnya, secara pribadi saya kenal beberapa anggota keluarga pak Arifin dan beberapa teman maupun kolega bisnis beliau, yang ternyata dalam acara penganugerahan gelar Doktor Kehormatan tersebut saya bertemu dengan mereka semua. Sebagian besar saya sempat bertegur sapa secara langsung akan tetapi sebagian lainnya tidak. Yang secara langsung sempat bertegur sapa langsung adalah ibu Yani Rodyat, pak Yunar Panigoro; Bpk Dedi Panigoro; dr Sony Panigoro dan istrinya (keeempatnya adalah adik kandung pak Arifin), lalu Bapak Bambang W. Sugondo, ibu Ade Indira Soegondo, Bapak dan Ibu Askar Kartiwa, (para ipar pak Arifin). Teman-teman dan kolega bisnis pak Arifin antara lain, Ginekolog Winahyo (dokter Awo), pak Wangky, pak Hertriono Kartowisastro, mbak Cisca, pak Winarno dan istri, tante Ida Djuarsa, pak Farid Rahman, pak I Gde Raka, CEO MedcoEnergi, para Direksi serta senior Manager di Lingkungan MedcoEnergi, para birokrat, dll…dll…dll.. Melihat beraneka ragam undangan yang hadir, menunjukkan bagaimana pak Arifin menghargai mereka yang ada di sekelilingnya selama ini.

Selesai acara kami pindah ke aula timur ITB, di tempat itulah kami bisa mengucapkan selamat kepada beliau. Satu hal yang sangat luar biasa setelah 10 tahun terkahir saya secara pribadi tidak bekerja dalam situasi yang berdekatan dengan beliau, beliau tetap mengingat saya dimana secara spontan ketika melihat saya beliau mengatakan “Hai Fi apa khabarnya?? Terima kasih ya..sudah datang ke Bandung hari ini.” Kata-kata yang singkat, tapi rasanya sebagai salah satu pegawai di lingkungan MedcoEnergi group saya merasa seperti mendapatkan air yang sejuk. Betapa dengan sosok besar beliau, beliau masih mengingat saya dan suami saya yang menurut ukuran saya pribadi, saya bukan siapa-siapa dan saya hanya seorang pekerja biasa di lingkungan MedcoEnergi group.

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, saya seperti melihat kilasan balik kebaikan beliau kepada saya secara pribadi, yang mungkn beliau sendiri tidak ingat akan hal itu saat ini. Saya ingat ketika bulan April 1992 saya mengirimkan surat pengunduran diri kepada beliau dan pak Hertriono Kartowisastro, beliau menelepon ke rumah untuk memanggil saya datang ke kantor dan menyelesaikan permasalahan dengan perusahaan dan meminta saya kembali bekerja.
Hal lainnya ketika saya berhasil negosiasi skema pembayaran kepada salah satu vendor PT Apexindo Pratama Duta (“Apexindo”) untuk pembayaran tagihan senilai hampir 1 juta USD, dimana kejadian sebenarnya saat itu, semua orang menghindar menerima telepon dari vendor di Singapura tersebut. Akan tetapi karena saya hanya staff biasa saat itu, maka saya harus menerima telepon dari vendor tersebut. Tanpa berpikir panjang, saat itu saya hanya mengatakan bahwa Apexindo tidak mempunyai uang sebanyak itu, akan tetapi bila boleh membayar dengan cara mencicil 6 s/d 8 kali pembayaran, kami yakin bisa. Akhirnya vendor tersebut mengirim fax dengan merujuk kepada pembicaraan dengan saya bahwa setuju untuk Apexindo mencicil, akan tetapi dikenakan bunga LIBOR + x%. Skema tersebut disetujui oleh Direksi saat itu, termasuk pak Arifin Panigoro. Tanpa diduga oleh saya, suatu hari saya dipanggil oleh Direksi, saat itu ada pak Arifin Panigoro, pak Hertriono Kartowisastro, pak Sugiharto (mantan Menteri BUMN) dan pak Darmoyo Doyoatmojo (CEO MedcoEnergi saat ini), lalu mereka mengucapkan terima kasih atas upaya positif yang telah saya lakukan bagi perusahaan, dan saya diberikan 1 (satu) buah amplop putih. Dimana ketika saya buka, ternyata sebuah check tunai dengan nilai yang luar biasa besarnya saat itu (jika tidak salah ingat nilainya 7.5 juta rupiah).

Kejadian lainnya adalah ketika saya akan menikah dan menyampaikan undangan kepada beliau, saat itu beliau bertanya “kamu mau hadiah apa fi?” Saat itu, jangankan berpikir minta hadiah, duduk berhadapan dengan beliau saja, membuat hati saya ciut, sehingga saya menjawab “Bapak dan Ibu datang ke pernikahan saya saja, sudah merupakan kehormatan besar untuk saya.” Anda tahu apa yang dikatakan beliau saat itu “kamu bodoh fi,kalau saya – pasti akan menjawab rumah atau apapun. Saya minta maaf tidak akan dapat hadir karena pada tanggal yang sama saya harus ke luar negeri, tapi saya pastikan istri saya datang, dan ini hadiah dari saya – yang tentunya nanti istri saya akan memberikan juga hadiah untuk kamu.” Sambil berbicara seperti itu, beliau menulis sebuah check. Lagi-lagi saya ‘shock’melihat nilai checknya. Selain itu di kemudian hari saya mengerti maksud kata-kata bodoh yang dlontarkan pak Arifin, yaitu dengan maksud bahwa kesempatan baik tidak akan pernah datang dua kali.
Walhasil pak Arifin memenuhi janjinya, ketika saya menikah, bu Arifin (bu Isis), Ibu Ade Indira Sugondo dan suaminya pak Bambang W Sugondo hadir pada pernikahan saya, termasuk pak Hertriono Kartowisastro yang hadir dan menjadi saksi pernikahan saya, serta istrinya mbak Rani. Dan benar saja bu Arifin,memberikan saya 1 (satu) set corning ware – brand terkenal untuk perlengkapan masak dan masih sering saya pakai sampai dengan saat ini.

Kejadian lain yang tidak dapat saya hapus dari ingatan saya adalah ketika suatu hari dia menelepon saya ke kantor, meminta saya datang ke toko peralatan golf Hari Brothers di Panglima Polim. Saat itu pak Arifin hanya blang “ambil peralatan yang kamu mau, dan kamu harus belajar golf”. Saat itu saya tidak mengerti, tapi hari ini saya mengerti benar kenapa harus belajar golf. Bahkan di kemudian hari beliau juga memberikan 1 (satu) set stick golf untuk suami saya dengan merk dunia terkenal.
Kejadian yang juga masih melekat dalam ingatan saya, ketika pada tahun 2000 saya harus assignment dari ‘drilling company’ ke PT Exspan Nusantara (saat ini dikenal sebagai PT Medco E&P Indonesia). Rasanya…berat sekali kaki saya melangkah pindah dari kantor di Jl. Ampera –Cilandak Jakarta Selatan, ke Menara Bidakara (saat ini kantor kami di the Energy). Sampai suatu hari mbak Cisca menelepon saya, meminta saya ikut makan siang bersama pak Arifin. Selesai makan siang, saya dipanggil ke meja beliau, menanyakan kondisi Exspan, ketika saya menyampaikan tentang perbedaan kultur kerja, pak Arifin hanya menjawab “karena itu Fi, mereka memerlukan fresh blood seperti kamu.” Penafsiran saya saat itu adalah it’s an order dari seorang owner, yang jika saya tidak setuju, tentunya saya harus mengundurkan diri.

Tahun lalu tepatnya Maret 2009, dalam acara dengan Mitsubishi Corporation, pak Arifin memanggil saya dan menyampaikan terima kasih atas kontribusi saya dan team dalam terwujudnya perjanjian antara MedcoEnergi dengan Mitsubishi Corporation, menjadi kenangan lainnya dalam hidup saya.

Sejujurnya, kata-kata pak Arifin bahwa kesulitan yang dihadapi membuat beliau seperti saat ini, hal itu pula yang terpatri dalam diri saya. Tanpa tantangan dan kesempatan yang diberikan oleh pak Arifin dan pak Hertriono, mungkin hari ini saya masih sama dengan diri saya 20 (dua puluh) tahun yang lalu. Ketika saya melihat ke dalam diri saya saat ini, hanya ucapan rasa syukur kepada Allah swt., diberikan kesempatan berkiprah (walau sangat kecil) di lingkungan MedcoEnergi group, dan mendapatkan kesempatan mengenal banyak pejabat Pemerintah, mengenal banyak jajaran Direksi baik Direksi perusahaan swasta nasional maupun BUMN, merasakan bernegosiasi dengan para pejabat MOGE di Myanmar, menginjakkan kaki di kantor pusat Mitsubishi Corporation di Tokyo – Jepang, berkeliling ke banyak negara dari mulai Singapura, Myanmar, Jepang, Eropa, Amerika Serikat baik untuk urusan pekerjaan ataupun untuk mengikuti program pelatihan dan pengembangan diri bersertifikat terkait industri minyak dan gas bumi.

Secara pribadi saya hanya bisa mengatakan “Terima kasih pak Arifin, I really proud of you – you always inspire me to do my best effort in any activities which I have to do. You are one of few people who is the right person and deserve to have Doctor Honoris Causa from ITB. Congratulations pak Arifin, I am sure you never stop seeking the best way for the benefit of many people who always support you to make sure MedcoEnergi shall be a sustainable company in any climate and offcourse for the benefit and welfare of our beloved country - Indonesia”