Rabu, 10 Februari 2010

“Kita tidak pernah bisa menentukan cara kita menghadap Sang Khalik”

Oleh: Fifi Fiana (Fiana B. Soegondo)
Cinere, 10 Februari 2010
Posting: fififiana@blogspot.com and face book: fifi fiana


Hari ini, Rabu 10 Februari 2010 – saya masih berada di rumah dan belum kembali bekerja setelah wafatnya ayahanda kami Ir. H. Aradea Atmawidjaja bin Husni Atmawidjaja pada hari Senin (pahing) 8 Februari 2010 sekitar jam 8 pagi dalam usia 76 tahun 3 bulan.

Tulisan ini tidak akan bercerita bagaimana kepedihan hati kami anak-anak yang ditinggal meninggal orang tuanya, akan tetapi saya ingin berbagi cerita sebagai pengalaman hidup kepada siapapun yang membaca tulisan saya ini, bahwa kita – manusia bukanlah penentu bagaimana cara kita menghadap Sang Khalik – Allah swt dan bagamana kita dimakamkan.

Ayah kami adalah keturunan Banten. Dari silsilah keluarga yang pernah diberikan kepada saya pada saat beliau merayakan ulang tahun beliau yang ke 73 tahun, saya baru mengetahui ternyata kami satu garis keturunan dari Sultan Banten ke-6. Mungkin karena kami lahir dan tumbuh besar di alam kemerdekaan Republik Indonesia, kami tidak terlalu memperhatikan lagi pentingnya silsilah keluarga. Itu pun ternyata kami salah, bagaimanapun mengerti siapa leluhur kita, penting bagi kita, untuk kita mengetahui dari mana sebenarnya asal kita. Terutama apabila telah terjadi pernikahan antar suku.

Kembali kepada tujuan saya menulis pagi ini, bahwa selama kurang lebih 6 (enam) tahun saya dan suami pernah mendapatkan kesempatan dari Allah swt untuk mengurus ayah kami dan saudara-saudara saya juga mendapatkan kesempatan mengurus beliau selama 1 (satu) tahun.

Dalam masa 6 (enam) tahun tersebut, Bapak (demikian saya dan saudara-saudara kandung kami memanggil beliau), banyak memberikan informasi kepada saya, terlebih sejak kelas 2 (dua) SMA saya tidak lagi tinggal dengan beliau.

Tidak akan lekang dari ingatan saya ketika beberapa tahun yang lalu beliau memberikan sebuah dokumen kepada saya, sambil memberikan penjelasan “Fi…walaupun sudah tua renta dan tidak memiliki apapun, bapakmu ini pernah mempunyai jabatan yang lumayan di Dinas Tata Kota DKI, sehingga Bapak berhak mendapatkan kavling pemakaman di Pemakaman Karet Bivak dan ini dokumennya, sambil Bapak memberikan semacam kartu warna coklat tua kepada saya,” dan dalam kartu tersebut benar menyebutkan hal yang dijelaskan Bapak kepada saya terkait hak beliau mendapatkan tanah pemakaman di karet – bivak Jakarta bila beliau meninggal. Tiga orang nama anak yang tersebut di dalam kartu tersebut adalah nama adik perempuan saya satu-satunya dan dua orang adik kembar saya yaitu: Sizzya, Dani Prayoga dan Hani Pryangga.

Seperti kebanyakan anak yang menghadapi orang tuanya yang telah tua (dan seringkali kita menganggap mereka telah pikun) saat itu saya terima kartu coklat tersebut dari tangan Bapak dan kemudian saya simpan di laci lemari pakaian saya. Hingga suatu hari saya berikan kartu tersebut kepada adik perempuan kami – Sizzya.

Pertengahan tahun 2008, Bapak juga meminta saya melunasi biaya keanggotaan di Yayasan Bunga Kamboja. Kata beliau saat itu “Fi..Bapak sudah tua dan tidak punya uang untuk membayar keanggotaan Yayasan Bunga Kamboja, jadi tolong kamu bayarkan ya…biar kalau Bapak meninggal nanti, mereka yang akan bantu pengurusan dan insyaAllah prosesnya akan cepat.” Lagi-lagi saat itu saya hanya menjawab dengan singkat “ya Pak” dan sejak itu saya dengan meminta bantuan supir kami, selalu membayarkan iuran Yayasan Bunga Kamboja tersebut.

Beberapa tahun yang lalu juga, ketika setelah Idul Fitri Bapak terkena stroke ringan dan sempat dirawat beberapa waktu d RS Fatmawati Jakarta, saya meminta bantuan ibu saya yang selalu saya panggil dengan mamah untuk membelikan perlengkapan menghadapi kematian, seperti kain kafan, bendera kuning, kan batik dll. Pertanyaan mamah saat itu “ngapain sih teh, kamu beli kain batik, kain kafan dll??” Dengan santai pula saat itu saya menjawab: “jaga-jaga mah kalau Bapak ada apa-2 dan meninggal mendadak, karena khan rumah saya jauh. Kalau ada apa-apa dan Bapak meninggal mendadak – saya pasti kebingungan untuk persiapannya.” Perlengkapan tersebut dengan rapih saya simpan di salah satu lemari yang kami miliki di rumah.

Pada tahun 2009, Bapak juga pernah menunjukkan kepada saya bahwa ia punya bintang gerilya Perang Kemerdekaan, tapi saat itu saya anggap angin lalu. Akan tetapi kemarin hari Selasa 9 Februari 2010, saya baru benar-benar menyadari bahwa bintang gerilya yang Bapak tunjukkan ke saya adalah benar-benar bintang gerilya Perang Kemerdekaan.

Hari Senin 8 Februari 2010, ketika secara mendadak saya mendapat khabar Bapak kritis, dan harus meninggalkan breakfast meeting menuju RS Fatmawati Jakarta, saya bisa terlihat agak tenang ketika meninggalkan rapat. Sampai di bawah jembatan dekat sekolah High Scope TB Simatupang Jakarta, lagi-lagi saya mendapat telepon dari Nonon (demikian saya memanggil adik perempuan saya Sizzya), yang langsung nangis histeris. Saat itu saya hanya mengatakan “Bapak sudah tidak ada ya Non?? Inna lillahi wainna ilaihi rojiuun, iya Non, sebentar lagi teteh sampai di Rumah Sakit.”

Setiba di rumah sakit saya bergegas ke UGD, disitu saya melihat Nonon menangis yang luar biasa dan sulit untuk saya ungkapkan dengan tulisan, demikian juga dengan pembatu yang merawat Bapak kurang lebih 10 tahun terakhir (Imah). Sebagai umat muslim, kata-kata yang keluar pertama dari bibir saya adalah pertanyaan:”Mbak Imah, apakah sebelum Bapak tidak ada, apakah Bapak sempat berdo’a?”. Mbak Imah pun menjawab: “sempat bu, begitu aki merasa lemas, aki terus menerus berdo’a, istigfar, Allahu Akbar, La ilaa ha illalah dan dzikir.” Rasanya hati saya agak tenang, karena walaupun kami anak-anaknya tidak sempat mendampingi beliau, Bapak meninggal – insyaAllah dalam keadaan Islam dengan menyebut nama Allah, amiin.

Setelah itu baru saya melihat jenazah almarhum, yang Alhamdulillah dan subhanallah di mata saya anaknya, wajah almarhum demikian damai seperti tertidur pulas dan semuanya tertutup dengan sangat rapat.

Pertanyaan saya berikutnya kepada Imah saat itu, kalau Bapak sakit, kenapa kami anak-anaknya tidak diinfokan? Ternyata, pagi itu tujuan Bapak ke RS Fatmawati untuk kontrol rutin penyakit diabetes nya yang sudah diderita kurang lebih 40 tahun terakhir, termasuk Bapak juga pengidap jantung koroner. Bahkan menurut penjelasan Imah, Bapak masih sempat instruksi ke Imah soal harus pergi ke lab yang mana, artinya sampai dengan saat menjelang sakaratul maut menjemput – Bapak juga masih bicara.

Dengan segera kami berkoordinasi dengan 4 (empat) saudara laki-laki saya yang lain, untuk memastikan bahwa jenazah Bapak dapat dimakamkan dalam hari yang sama.

Dalam proses tersebut, akhirnya kami memutuskan menggunakan Yayasan Bunga Rampai yang ada di RS Fatmawati, juga kami memutuskan jenazah segera dibawa pulang, dimandikan di rumah duka (kebetulan di rumah kami), dan dimakamkan di taman pemakaman Jeruk Purut Jakarta Selatan. Ketika proses keputusan tersebut diambil, sebenarnya hati saya bertanya-tanya, mengapa Bapak tidak dimakamkan di Karet – Bivak? Kenapa Bapak tidak diurus oleh Yayasan Bunga Kamboja? Dan banyak pertanyaan lain yang muncul dalam diri saya. Akan tetapi, semua keputusan pengurusan dimana Bapak akan dimakamkan – memang saya serahkan kepada 4 orang saudara laki-laki saya.

Ternyata, manusia dapat berencana apa yang harus dilakukan setelah ia meninggal, akan tetapi ternyata ketentuan Allah lah yang tetap berjalan. Almarhum Bapak tidak dimakamkan di Karet – Bivak sesuai haknya sebagai salah satu pegawai dinas Tata Kota DKI dengan jabatan yang boleh dibilang baik pada eranya ataupun di Taman Makam Pahlawan karena beliau pemegang bintang gerilya, dan juga tidak dibantu pengurusannya oleh Yayasan Bunga Kamboja dimana untuk beberapa tahun terakhir almarhum Bapak menjadi anggota.

Dengan diantar banyak sekali kerabat, teman, kolega kerja dari para putra dan putrinya, disholatkan jenazah yang dipimpin oleh anak lelakinya, diterima jenazahnya oleh anak lelakinya dan keponakannya serta dibacakan do’a oleh anak lelakinya, almarhum Bapak dimakamkan dengan lancar di taman pemakaman Jeruk Purut Jakarta Selatan pada hari Senin 8 Feb 2010 sekitar jam 14.00.

Tiba-tiba..terlintas dalam ingatan kami dalam salah satu Majlis Taklim keluarga – ustadz kami ustadz Yahya mengatakan “Jangan pernah merencanakan kematian anda dengan cara tertentu, atau merencanakan nanti jika anda meninggal diurus dengan cara tertentu, karena jika kita meninggal, semua urusan kita, menjadi urusan keluarga yang masih hidup. Kita tidak akan pernah tahu dalam keadaan apa kita meninggal, dimana kita meninggal dan dengan cara apa kita dimakamkan termasuk dimana kita akan dimakamkan.”
Dengan segala kesedihan dihati – sekalipun saya telah ikhlas, hari ini saya menyadari perkataan Ustadz Yahya benar adanya.
Hari-hari ini, dengan kemampuan yang ada, saya dan saudara-2 kandung yang lain hanya bisa mendo’akan almarhum Bapak untuk mendapatkan tempat yanglayak disisi Allah swt dan diampuni dosa-dosanya, amiin. Do’a kami hanyalah Ya Allah berilah kami kekuatan untuk terus dapat mendo’akan almarhum serta mengurus makam almarhum dan dapat mengurus ibu kami yang masih ada dan menjelang 71 tahun usianya, demikian juga dapat mengurus anak-anak kami menjadi anak yang soleh ataupun solehah,amiin

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya, menjadikan hal yang baik sebagai pelajaran yang patut ditiru dan menutup ingatan kita akan hal yang kurang baik. Dan mudah-mudahan kita menjadi orang yang lebih baik dalam ilmu pengetahuan dan agama setiap saatnya, amiin.