Minggu, 15 April 2012

Judul: Mereka Bisa Karena Mereka Mau

Penulis Fifi Fiana
Jakarta 30 Maret 2012


Sebenarnya saya ingin berbagi dengan teman-teman sejak akhir bulan Januari 2012 yang lalu, akan tetapi karena kesibukan di dunia kerja dan tanggung jawab sebagai ibu dengan urusan domestik rumah tangga saya, maka baru hari ini sempat menulis lagi, setelah rasanya 1 (satu) tahun terakhir tidak aktif menulis.

Pada bulan Desember 2011 yang lalu, secara mendadak saya diminta untuk pergi ke Oman, mungkin banyak diantara kita tidak terlalu mengenal Oman. Oman adalah suatu negara kesultanan dengan wilayah yang tidak luas di daerah Timur Tengah, yang juga relatif bertetangga dengan Kerajaan Saudi Arabia dan Qatar.

Dalam perjalanan dinas pada bulan Desember 2011 tersebut saya tidak mendapatkan impresi apapun, kecuali suatu informasi bahwa Muscat, yaitu salah satu kota di Oman terpilih menjadi kota kedua obyek turisme dunia di tahun 2012 setelah kota London di Inggeris. Kesibukan saya menyelesaikan suatu misi pekerjaan pada Desember 2011 tersebut, membuat energi terkuras, bahkan saya tidak memiliki kesempatan untuk menonton TV lokal ataupun membaca Koran yang setiap hari dikirimkan ke kamar hotel tempat kami menginap. Antara keinginan membaca dengan kelelahan, akhirnya saya selalu memilih untuk beristirahat.

Akhir Januari 2012, lagi-lagi saya harus berangkat ke Oman, sebagai tindak lanjut perjalanan dinas pada bulan Desember 2011. Pada keberangkatan kedua tersebut, didalam hati saya bertekad untuk mengetahui negara Oman lebih jauh dan jika memungkinkan untuk mendapatkan suatu pelajaran positif dari kemajuan suatu negara.

Hari pertama di Oman, saya mengajak salah satu atasan yang ikut dalam perjalanan dinas yang notabene seorang Direktur untuk berolah raga sore dengan lari di pantai. Sebelum saya turun ke pantai, yang terbayang di benak saya adalah pantai tersebut menjadi milik exlusive hotel tempat kami menginap, yang notabene international five star chain hotel. Ternyata dugaan saya salah, karena ada pagar hotel dan akses pintu keluar dari halaman belakang hotel ke arah pantai.

Begitu masuk ke areal pantai, perasaan saya sangat terkejut, karena banyak sekali orang bermain bola atau mungkin futsal di pantai. Jika anda berpikir banyak dalam jumlah orang, maka..pemikiran anda bisa saya benarkan walaupun juga hal tersebut salah. Karena yang saya maksud adalah secara kelompok-kelompok, banyak kelompok yang bermain bola/futsal, yang secara otomatis menjadikan pantai tersebut penuh dengan orang bermain bola/futsal.

Kami berdua berlari ke arah kiri belakang hotel tempat kami menginap, setelah kurang lebih jarak 2 km berlari, kami putar haluan untuk berlari balik arah ke arah hotel tempat kami menginap.
Ketika posisi berlari kami telah berada di bagian belakang hotel lagi, saya meminta kepada boss saya untuk melanjutkan lari ke arah lebih jauh, untuk mengetahui seberapa banyak penduduk lokal atau mungkin beberapa turis menghabiskan waktu sore hari di pantai.

Bisa anda bayangkan dengan jarak lari yang telah kami lalui 4 km, kami masih berlari 1 km lagi ke arah berlawanan dari arah lari kami pada awalnya atau arah kanan dari bagian belakang hotel. Kemudian saya mengatakan kepada Boss saya: “Pak, bagaimana jika setelah itu kita lihat apakah ada akses jalan ke jalan raya dari jalan umum, sehingga kita bisa kembali ke hotel dari arah depan”. Boss saya pun setuju saja dengan usulan saya. Setelah selesai +/-5 km berlari, kami mulai jalan untuk peregangan, dan alangkah terpesonanya saya, bahwa ternyata diantara pantai dan bangunan hotel dan bangunan lainnya ada jalan setapak untuk orang jalan kaki.
Akhirnya..kami memutuskan jalan di jalan setapak yang kiri kanannya penuh tanaman hijau (hijaunya tanaman ini membuat kami tidak merasa di Timur Tengah). Jika anda berada di sana saat itu dengan saya, anda akan terkagum-kagum, sama seperti kekaguman saya kepada mereka. Karena ternyata ada lahan parkir yang rapih dan teratur, dimana banyak orang lokal datang dengan kendaraan masing-masing, lalu dengan pakaian olah raga jalan ke arah pantai untuk berolah raga. Tersadarlah saya, bahwa sekalipun bangunan hotel memiliki kemewahan karena berlokasi tepat di bibir pantai, akan tetapi pantai bukanlah milik exclusive hotel yang berada di sekitar areal tersebut. Pemerintah Oman membuatkan akses untuk penduduk dapat datang setiap hari ke pantai untuk berekreasi, Pemerintah Oman juga membuat penduduk nya tersenyum dan tertawa ceria karena dapat berekreasi dengan biaya yang murah. Coba anda bayangkan dengan situasi di Bali, dimana wilayah-wilayah tertentu yang pantainya menjadi wilayah exclusive hotel berbintang, atau bandingkan dengan pantai Ancol di Jakarta. Apakah anda bisa masuk secara gratis untuk main futsal di pantai Ancol?

Hari berikutnya kami dijamu makan siang oleh perwakilan kantor di Oman, yang menurut saya luar biasa nikmatnya makan siang tersebut.., pada kesempatan makan siang itu saya menanyakan kepada mereka, bahkan mungkin lebih kepada memuji, saya katakan kepada mereka “saya kagum dengan cara negara kamu menata kota, jelas mana wilayah publik, kemudian semua bangunan rumah diberi warna yang sama dan relatif bentuk rumah ada ciri khas tertentu, selain itu tanaman yang kalian tanam luar biasa indah pengaturannya dan juga permainan warna dari bunga-bunga yang ditanama (karena seingat saya hanya ada bunga warna putih, pink, biru dan ungu untuk di areal public/jalanan)”
Orang yang saya tanya katakanlah namanya pak Tata, pak Tata menjawab kepada saya “jika kamu datang ke Oman 20 tahun yang lalu, atau bahkan 10 tahun yang lalu, situasinya tidak seperti ini” Kemudian pak Tata menjelaskan bahwa pimpinan tertinggi di Oman yaitu seorang Sultan memanggil para ahli tata kota Internasional, mereka ingin ciri khas Oman tetap menonjol, akan tetapi kota-kota di negara Oman bisa menjadi obyek wisata dunia. Beberapa hal yang positif adalah bagaimana sistem gorong-gorong dibuat, lalu bagaimana ada pengelompokkan antara wilayah residensial dan wilayah bisnis, lalu standarisasi warna bangunan diimplementasikan (akan tetapi para warga diberikan kebebasan untuk mewarnai interior rumahnya masing-masing), bahkan bagaimana mereka melindungi tenaga kerjanya dengan suatu undang-undang yang dikenal dengan “Omani Law”
Dari bagaimana mereka menata infra-struktur negara/kota yang ada, akhirnya saya berkesimpulan mereka mengklasifikasikan dalam 2 hal “compulsory atau keharusan” untuk sesuatu yang berada atau terlihat dari ruang publik, serta “preference atau pilihan” yang hanya terlihat dan atau berada pada ruang private atau pribadi. Bagaimana mereka melakukan itu? Ternyata ada unsur paksaan, tapi mereka dengan caranya bisa memberikan pemahaman / edukasi untuk manfaat jangka panjangnya.

Jika anda semua tahu dengan dengan populasi penduduk di kisaran 2 juta penduduk dan produksi migasnya yang berada di kisaran 1 juta barrel oil per hari, serta kepadatan penduduk di bagi luas wilayahnya hanya sekitar 19-20 orang per km2, betapa kayanya negara kesultanan Oman tersebut. Dan hanya sekitar 14% penduduknya yang tinggal atau berdomisisli di kota-kota besar di Oman.
Tapi satu hal yang menurut saya pribadi sebagai pengunjung di Oman, mereka hebat adalah karena mereka berupaya menjaga Good Corporate Governance (“GCG”) nya.

Ternyata karena mereka selalu berupaya kuat dalam implementasi GCG, maka mereka berhasil (dengan paksaan atau tidak) dalam membangun negaranya lebih baik.

Lebih terkejut lagi ketika keesokan harinya saya membaca koran lokal ada 2 hal yang saya baca yaitu:
1. Pengumuman resmi Pemerintah soal beasiswa untuk kuliah S1 S2 dan S3 bagi penduduk Oman. Secara rinci di Koran tersebut dijelaskan berapa nilai alokasi beasiswa yang diberikan oleh Pemerintah untuk melanjutkan studi di dalam negeri dan luar negeri, serta penjelasan rinci tentang aturan main dan pendaftarannya
2. Pengumuman resmi Pemerintah yang dalam 1 (satu) minggu ke depan akan menutup aliran air ke 2 (dua) kota di Oman karena Pemerintah akan memasang sistem metering. Sehingga semua penduduk di kedua kota tersebut diminta untuk melakukan persiapan karena akan terhentinya pasokan air secara bertahap dalam 2 hari tersebut. Yang luar biasa bagi saya, karena Pemerintah Oman juga memberikan petunjuk untuk alternative mendapatkan air selama penutupan aliran air ke kedua daerah/kota tersebut.

Malam harinya menjelang tidur saya tercenung, rasanya dalam usia saya di pertengahan usia 40 tahun baru 3 kali saya membaca pengumuman PLN akan mematikan listrik, itu pun dari selebaran RT tempat saya tinggal dan dibagikan informasinya 1 hari sebelum pelaksanaan pemadaman listrik bergilir, tanpa adanya penjelasan yang rinci kenapa harus terjadi pemadaman listrik bergilir tersebut.

Akhirnya saya berkhayal “andaikan Pemerintah Indonesia mencoba transparan dalam semua aktivitas yang dilakukan, tentunya semua akan menjadi lebih mudah, sekalipun mungkin pada awalnya akan sulit karena Pemerintah harus membentuk suatu kultur baru bagi bangsa Indonesia”.

Hari terakhir dalam perjalanan dinas pada Januari 2012 yang lalu adalah hari Kamis yang notabene Kamis dan Jumat merupakan week-end di Oman. Karena penerbangan kami malam hari, maka hari Kamis tsb saya manfaatkan untuk melihat Grand Mosque di kota Muscat dan pergi ke kota bersejarah yang namanya Nizwa.

Ketika tiba di Grand Mosque, selain menyebut nama Allah di dalam hati, saya tercengang lama, melihat indahnya kompleks Grand Mosque atau Masjid Agung di Muscat. Lagi-lagi saya berpikir keras rasanya sama indahnya dengan Masjid Kubah Mas.
Tapi..perbedaan nyata yang ada adalah Masjid Agung di Muscat, inisiasi pembangunannya oleh Pemerintah dan masjid Kubah Mas inisiasinya dilakukan oleh perorangan. Hal lain yang menjadikannya berbeda, karena pada jam-jam di luar jam sholat, Masjid Agung Sultan Al Qaboos tersebut menjadi obyek wisata, dimana untuk semua wisatawan diwajibkan memakai kerudung ketika memasuki areal masjid tersebut.

Selesai berkunjung dan sempat melakukan sholat Dhuha di Masjid Agung di Muscat, kami meluncur dengan berkendaraan mobil ke kota Nizwa. Kami terus menerus melewati gurun pasir, tapi anehnya..saya tidak merasa berada diTimur Tengah, karena pada jarak tertentu ada pompa bensin dengan areal peristirahatan seperti di Eropa. Memang tidak seperti di Amerika yang areal peristirahatannya luas, tapi esensinya, mereka sudah memperhitungkan setelah jarak tempuh tertentu, baik pengemudi maupun penumpang, perlu beristirahat sejenak.

Nizwa juga merupakan kota yang Indah, semua obyek wisata diberikan penjelasan yang luar biasa rinci. Yang lebih mengagumkan lagi toilet umum yang saya masuki bersih dan dapat saya terima. Karena sejujurnya saya orang yang mudah merasa jijik jika masuk ke WC umum yang kotor.

Pelajaran yang bisa saya ambil dari Pemerintah Oman, bahwa Pemerintahnya tidak terlena atas kekayaan migas negaranya, dibuktikan dengan terminologi kerjasama yang tidak mudah dengan Pemerintah Oman; bukti lain, adalah bagaimana Pemerintah kesultanan Oman juga berusaha keras membenahi obyek pariwisata Oman menjadi obyek dan sarana pariwisata kelas dunia. Hal itu mereka lakukan dengan kerja keras, komitmen dan GCG.

Memang dengan penduduk yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan penduduk Jakarta, sepertinya terlihat mudah, akan tetapi substansi dari tulisan ini bagaimana suatu negara mengelola kemajuannya dengan berusaha keras di jalur yang benar. Pemerintah juga berupaya membuat penduduknya nyaman dengan memberikan fasilitas umum yang layak.

Judul: Recital Piano Bubi Sutomo Memberi Kesadaran Arti Persahabatan

Penulis : Fifi Fiana
Tanggal : 13 April 2012


Beberapa minggu yang lalu saya menerima personal blackberry message atau yang biasa dikenal sebagai “bbm” dari teman kecil sekolah saya yaitu Bubi Iriadi.
Sayangnya bbm tersebut sudah terhapus, tapi inti dari bbm tersebut adalah menyampaikan bahwa Bubi ingin mengadakan recital piano lintas persahabatan. Sebagai temannya, Bubi ingin saya hadir dalam recital piano lintas persahabatan yang diadakannya. Dalam bbm itu pun disampaikan oleh Bubi bahwa harga tiketnya relatif murah hanya rp.150.000 per orang yang menurut bbm dari Bubi termasuk dapat minuman dan makanan. Selain itu Bubi juga memberitahu kepada saya contact person yang dapat dihubungi untuk mendapatkan tiket recital piano tersebut.

Seperti biasa jawaban bbm saya singkat saja dengan mengatakan “OK, nanti aku tanya suami dan anak-anakku dulu ya….”

Tapi memang saat itu di hati kecil saya ingin menonton recital piano Bubi, alasan pertama saya ingin melihat kemajuan berpianonya, karena rasanya terakhir kali melihat Bubi bermain piano dan keyboard semasa saya bersekolah di SMP Islam Al Azhar di Jl. Sisingamangaraja, Jakarta. Karena seusai SMP saya melanjutkan pendidikan tingkat SMA di sekolah negeri di kota Jakarta juga.
Alasan kedua, karena ibunda Bubi Sutomo yang semasa sekolah saya kenal sebagai Bubi Iriadi tersebut adalah teman sekolah almarhum bapak saya di arsitektur Institut Teknologi Bandung (“ITB”).

Rencananya saya ingin membeli 4 tiket untuk menonton bersama suami dan kedua anak lelaki saya, akan tetapi akhirnya hanya membeli 2 tiket, karena katanya sudah habis, dan saya tidak berusaha untuk mencari tiket ke tempat penjualan tiket lainnya, karena kalaupun dapat tiketnya, membuat saya dan suami harus duduk terpisah dengan kedua anak kami.

Hari yang ditunggu tibalah, yaitu tanggal 11 April 2012 hari Rabu, dimana saya berusaha pulang kantor tepat waktu, karena saya ingin sebelum menonton pertunjukkan saya sudah mandi dan sempat memastikan anak bungsu kami yang kelas III SMP (kelas IX) belajar untuk menghadapi ujian nasional minggu terakhir bulan April 2012 nanti.
Saya sempat merasa sedih, karena suami saya agak telat pulang, tapi syukurlah, akhirnya suami saya datang sekitar jam 6 sore.

Setelah persiapan dengan ‘dress code’ warna hitam, kami berangkat dari rumah sekitar jam 18.30, sekitar jam 19.00 ketika kami sedang antri mengambil tiket parkir di Taman Ismail Marzuki – Jakarta (“TIM”), salah satu teman lainnya mengirimkan bbm, menanyakan apakah saya malam itu menonton recital piano Bubi. Lalu saya katakan “ya nonton, tapi mau masuk TIM saja antri.”

Setelah mengambil tiket parkir, akhirnya saya mengajak suami untuk turun jalan kaki karena relatif sangat macet antrian mobil di lahan parkir TIM tersebut dan kebetulan kami diantar supir kami. Sejujurnya saya takut telat, karena acaranya hanya dari jam 19.00-21.00 saja. Sampai di areal Teater Kecil TIM, kami langsung masuk, awalnya saya tidak bertemu siapapun yang saya kenal, lalu saya ajak suami untuk minum teh hangat yang disediakan sayangnya suami saya menolak, karena saya tahu betul jika suami saya telat makan akan migrain. Padahal, malam itu kami pasti telat makan, karena waktu berangkat dari rumah kami tidak sempat makan malam terlebih dahulu.

Tidak lama, kami diminta masuk ke dalam ruang Teater Kecil TIM, pada saat antri masuk tersebut, barulah saya mulai bertemu dengan teman-teman masa kecil saya. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata…ketika kami sudah masuk ke dalam teater kecil tersebut, saya dan suami dapat duduk baris kedua dari panggung, dimana baris pertama dan kedua tersebut seingat saya adalah alumni baik SMP maupun SMA Al Azhar yang berlokasi di jl. Sisingamangaraja (“SMP Alpus dan SMA Alpus”).

Sejujurnya, sejak lulus SMP dari SMP Alpus sampai dengan sekarang, rasanya saya tidak sampai 10 kali bertemu mereka dalam berbagai acara. Alasan utama bagi diri saya karena memang secara pribadi saya tidak pernah ingin terlalu mendekatkan diri secara long lasting dengan seseorang, sehingga memang rasanya sampai dengan saat ini saya tidak mempunyai sahabat yang secara intens selalu bertemu dengan saya. Hanya beberapa teman yang saya ingat namanya Apit (Diavitri) yang datang dengan adiknya Anggi. Apit adalah teman naik bajaj bersama ketika kami di SMP Alpus dan semasa SMP saya sangat dekat dengan Apit sehingga mengenal orang tua dan semua saudara kandungnya. Kemudian Yana Sofyan dan suaminya Dede Gusman, Yana adalah teman sejak TK yang memiliki saudara kembar laki-laki bernama Yani, dulu ketika kami SMP, rumah orang tuanya di Jl. Panglima Polim Jakarta, menjadi tempat tongkrongan kami untuk nonton video, salah satunya “Grease” yang sangat terkenal dengan bintang John Travolta dan Olivia Newton John, Yana dekat dengan Dede sejak SMP sampai akhirnya menikah. Lalu Averus, seingat saya Averus baru mulai bersekolah di Al Azhar ketika SMP. Adalagi Yayan Cahyana teman bersekolah sejak TK, saya selalu ingat Yayan, karena orang tuanya juga kenalan orang tua saya, dan tanggal lahir Yayan hanya berbeda 2 (dua) hari dari ulang tahun saya. Lalu ada Anita, sesungguhnya saya tidak pernah bersama dalam satu sekolah dengan Anita, karena Anita masuk di Al Azhar ketika SMA, sedangkan saat itu saya sudah keluar dari lingkungan Al Azhar yang memberikan saya banyak pengetahuan dasar sejak TK sampai dengan SMP. Kenapa saya bisa kenal Anita? Karena diperkenalkan oleh teman-teman SMP saya pada suatu acara reuni SMP-SMA Alpus dan satu hal lainnya, Anita sangat friendly, sehingga membuat saya nyaman berkomunikasi sebagai teman dengan Anita. Yang terakhir adalah Ira, sama dengan Anita, saya tidak pernah bertemu Ira dalam sekolah yang sama, tapi saya kenal Ira karena sempat bersama sebagai team drum-band Al Azhar, tapi memang relatif komunikasi saya dengan Ira seringkali hanya terbatas mengatakan “apa khabar..atau hallo”. Lalu ada Iin yang menegur saya, tapi saya jadi malu sendiri karena saya benar-benar tidak bisa me recall memory saya tentang Iin.

Dalam sequence recital piano tersebut menurut sudut pandang saya merupakan recital piano yang unik, karena:
1. Recital piano tersebut dikemas dalam perpaduan seperti pertunjukan komersil yang penuh suasana kekeluargaan, karena banyak diantara kami saling mengenal.
2. Dalam pembukaan acara pun sang tuan rumah sekaligus pembuka acara Toni Sianipar menyampaikan, bahwa recital piano Bubi adalah recital piano Lintas Persahabatan, dimana ada teman-teman sekolah Bubi ketika SMA (walau ketika Toni Sianipar mengatakan hal itu, hati saya menjerit…saya teman SMP!!). Lalu ia menyampaikan juga ada teman-teman Bubi ketika kuliah di ITB, teman-teman Bubi di Elfa Secoria dan juga tokoh musik Indonesia yang dipanggil oleh Toni Sianipar sebagai mas Tamam.

Bagian Pertama dari pertunjukkan, dapat dikatakan adalah bagian dimana Bubi menunjukkan kepiawaian berpianonya, yang rasanya untuk saya yang selalu punya mimpi dapat bermain piano, cara bermain piano Bubi luar biasa, sampai saya bilang kepada suami saya, andai saja Dhaneswara anak tertua kami ikut nonton, pasti akan memberikan inspirasi dan motivasi untuk tuntas belajar piano. Karena tidak ada kata terlambat untuk belajar main piano.

Ketika bagian kedua dimulai, saya mulai kaget, Bubi yang saya kenal ketika SMP anak yang low profile dan relatif pendiam, mulai memegang mike dan berbicara menyampaikan cerita dengan siapa dia akan bermain.
Bagian kedua sesi pertama, dia bermain dengan teman-teman dari SMP sampai dengan SMA, yang saya kenal, termasuk penyanyi nya Emil yang saya kenal karena persahabatan orang tua kami, dimana masa kecil kami sering berlibur 3 keluarga bersama ke Puncak. Lalu ada juga Aditiawarman yang kami sama-sama satu sekolah semasa di SMP dan memiliki teman bermain yang dekat yang sama yaitu Linda Naro.

Saya agak terkejut juga ketika Bubi mengatakan terima kasih kepada bang Emil yang menyempatkan diri untuk berpartisipasi, karena dari teater Jakarta, bang Emil yang mempunyai acara lain yaitu show menyanyi di tempat lain langsung meninggalkan Teater Kecil TIM.

Kemudian Bubi dengan teman-teman Kahitna nya, termasuk pemusik dan pengarang lagu untuk industri pop terkenal Yovi W, bermain lagu Casiopea. Ketika Yovi bermain piano, ia menyampaikan jika Bubi adalah sahabatnya dan menyampaikan bahwa ia senang bisa bermain piano di recital piano Bubi, karena dia bisa bermain yang berbeda, tidak seperti di industri musik yang digelutinya, yang harus mengikuti selera konsumen.

Saya lupa pada segmen yang mana, tapi dalam salah satu segmen, Bubi menyampaikan arti persahabatan untuk nya. Intinya persahabatan itu adalah sesuatu yang tidak akan tergerus waktu, persahabatan itu tidak mengenal status sosial dan ekonomi seseorang, persahabatan itu yang selalu membuat ia ingin mempersembahkan sesuatu bagi sahabat-sahabatnya. Dan ia merasa malam itu berada diantara para sahabatnya.

Ketika menyimak perkataan Bubi malam itu, saya terdiam dan tercenung, kemudian saya berkata kepada diri saya sendiri “Ya Allah Bubi, beda sekali kamu dengan saya, saya berusaha baik sebagai teman, tapi saya cenderung tidak ingin menjalin persahabatan yang long lasting, karena saya takut dikhianati atau mengkhianati persahabatan yang ada.”
Pertunjukkan pun dilanjutkan ada segmen Bubi bernyanyi dengan Vivin yang menyanyikan lagi ciptaan Bubi. Suami saya pun sangat impress dan langsung meminta saya untuk menghubungi Bubi dimana bisa mendapatkan CD dari lagu ciptaan Bubi yang dibawakan oleh Vivin.

Lalu ada segmen penyanyi Carlo (Kahitna) juga membawakan lagu karangan Bubi, dan Bubi memainkan musik dengan tim Paduan Suara Alumni ITB, sampai akhirnya pada puncak acara, Bubi mengucapkan terima kasih kepada para sponsor yang mendukung acara recital piano lintas persahabatannya, ditutup dengan semua pendukung acara naik ke atas panggung termasuk ayahanda beliau yang berusia 80 (delapan puluh) tahun.
Pada puncak acara tersebut, teman-teman SMP saya mengajak naik ke atas panggung juga, awalnya saya ragu-ragu, keraguan saya muncul, karena saya merasa belum tentu Bubi ingat saya, saya pikir daripada saya malu di atas panggung, lebih baik saya menonton dari bawah suasana hingar bingar dan suasana bahagia penuh persahabatan di atas panggung malam itu. Sementara saat itu suami saya sudah keluar gedung karena mulai pusing/migrain.

Tapi akhirnya saya naik juga ke atas panggung, satu hal yang mengejutkan saya ketika saya mengucapkan selamat kepada Bubi dengan bersalaman ia mengatakan “Fifi…terima kasih ya sudah datang dan menonton.” Mungkin hari ini Bubi sudah lupa perkataan yang dia sampaikan kepada saya, akan tetapi untuk saya pribadi sangat berarti, karena dalam sesi pertemuan yang sangat …sangat…sangat……jarang dengan saya, Bubi masih mengenali saya sebagai temannya.

Sikap Bubi, semua kata-kata dia selama recital piano tersebut, menyadarkan saya arti persahabatan dan pertemanan yang tidak akan pernah lekang oleh waktu, yang tidak akan pernah terhapus dengan status sosial ekonomi, yang tidak akan pernah tertelan bumi dan hilang karena bencana alam. Persahabatan dan pertemanan adalah bagaimana kita tetap menjaga hubungan baik dengan teman-teman yang kita kenal. Jika sekali-kali terjadi friksi, hal tersebut harus dianggap sebagai dinamika pertemanan dan persahabatan dan bukan memutuskan tali persahabatan dan pertemanan itu sendiri.
Sayangnya saya tidak dapat terlalu lama dan melanjutkan acara ngobrol-ngobrol dengan Bubi, karena saya tidak nyaman jika suami saya harus menunggu saya sendirian di lingkungan yang ia kurang familiar, selain itu putra kami lainnya yang duduk di SMA memerlukan supir kami untuk mengantar dia pergi ke fotocopy dan penjilidan 24 jam, untuk tugas sekolah yang harus dikumpulkannya pada tanggal 12 April 2012.

Terima kasih ya Allah, Engkau perkenalkan aku dengan seseorang seperti Bubi sebagai teman, membuka horizon diri saya akan arti persahabatan dan pertamanan. Memberi makna lain bagi diri saya untuk tidak takut berselisih paham dengan teman, karena itu dinamika pertemanan. Dan tidak perlu takut di khianati oleh teman, karena jika hal itu terjadi akan memberikan pemahaman kepada diri kita bahwa teman kita tersebut tidak menjadi destiny kita atas suatu persahabatan.

Terima kasih Bubi untuk personal bbm nya yang mengajak saya menonton recital piano mu. Maafkan saya dan suami, karena kami segera pulang untuk memenuhi work life balance kami lainnya, dan masih ada aktivitas kerja yang tidak dapat kami tinggalkan keesokan harinya. InsyaAllah kebaikan dan pertemanan serta persahabatan yang engkau suguhkan dan berikan kepada kami semua mendapatkan ganjaran kebaikan dan keberkahan dari Allah swt.