Selasa, 01 Februari 2011

“Tulus itu Tidak Mudah”

Oleh: Fifi Fiana (Fiana B. Soegondo)
Cinere, 31 Januari 2011
Posting: fififiana@blogspot.com and face book: fifi fiana


Pada tanggal 4 Januari 2011, kami sekeluarga bergerak kembali ke tanah air dari Dubai setelah berlibur ke beberapa negara dengan menggunakan pesawat Emirates. Tak lekang dalam ingatan saya ketika masuk ke boarding room kelas ekonomi, hati saya agak ciut, melihat begitu banyak Tenaga Kerja Indonesia yang didominasi oleh tenaga kerja wanita atau lebih sering dikenal sebagai “TKI/TKW” di ruangan tersebut. Jika memungkinkan, rasanya saya ingin keluar lagi dan membeli ticket pesawat lainnya dengan basis business class, akan tetapi apa daya, tak mungkin bagi saya untuk membeli ticket lagi, karena saya sedang dalam perjalanan pulang ke tanah air setelah berlibur bersama salah satu travel agent terkemuka di Jakarta.

Dengan perasaan sedikit malas, akhirnya saya masuk juga ke ruang tunggu tersebut. Saya sempat mengobrol dengan satu keluarga etnis tionghoa, yang baru kembali dari Amerika, dimana mereka sempat terdampar dari NewYork karena salju yang diluar kebiasaan.

Ketika tiba-tiba bunyi panggilan untuk naik pesawat, saya sempat menggerutu kepada suami saya-Widy, saya bilang:”susah ya pah, mereka tidak mengerti bahasa Inggeris, padahal khan announcementnya untuk yang duduk di zona “x”, sedangkan mereka duduk di zona “c”. Dengan sikap yang selalu terlihat acuh tak acuh, Widy menjawab: “sudah lah bu, kita gak perlu ngurusin orang lain, yang penting kita tidak melanggar peraturan, coba kamu lihat tidak hanya TKW/TKI itu saja yang melanggar, orang-orang kaya Indonesia yang duduk di economy class karena lebih senang berbelanja juga mereka melanggar tuh… Wong yang bawa anak maksimum usia 2 (dua) tahun yang boleh naik pesawat duluan, lah..itu anaknya sudah pantaran SD kelas IV koq maksa masuk duluan.” Akhirnya daripada jadi ribut dengan suami sendiri, saya memilih diam walau ada sedikit kesal di hati.

Tidak dinyana, ternyata kami berempat duduk terpisah menjadi 2 (dua) baris. Saya dengan suami, lalu kedua anak kami di baris yang berbeda. Yang saat itu membuat hati dan perasaan saya tidak nyaman, karena di sebelah kanan saya yang duduk dekat jendela adalah TKW. Begitu suami saya duduk, ia tertawa-tawa dan mengatakan “kamu kualat fi, sebel ke TKW/TKI, ternyata kamu jadi bersebelahan dengan TKW”.

Hal itu membuat saya tidak nyaman, sehingga akhirnya saya duduk merapat ke suami dan sama sekali tidak mau menoleh ke ibu yang duduk di sebelah kanan saya. Segala macam perasaan bercampur pada saat itu,akan tetapi bukan perasaan bahagia dan lebih kepada perasaan sebaliknya.
Akan tetapi, di luar dugaan saya ternyata ketika saya terlelap sesaat, ibu TKW di sebelah saya membantu saya membukakan meja saya dan menerima makanan untuk saya. Hal itu saya ketahui, ketika tiba-tiba saya terbangun dari tidur, saya melihat beliau sedang berupaya membuka meja lipat di depan saya.
Secara spontan saya bilang “tidak apa-apa bu, saya bisa sendiri koq”, lalu ibu tersebut menjawab “tidak apa-apa bu, karena saya tidak tega membangunkan ibu yang sedang tidur tadi.”

Selesai makan, akhirnya sambil mengucapkan terima kasih, saya bertanya kepada ibu tersebut tentang apakah beliau adalah salah satu dari TKW tersebut? Jika ya, apakah pulang ke Indonesia karena habis kontrak kerjanya. Dengan suara yang lembut dan pelan ibu itu mengatakan bahwa sebenarnya secara ketentuan beliau hanya boleh pulang ke Indonesia adalah 2 (dua) tahun sekali, akan tetapi karena orang tuanya (ibunya) sakit, maka ia terpaksa meminta izin Boss nya untuk bisa pulang, padahal baru 1 (satu) tahun yang lalu ia pulang ke Indonesia.
Dalam pembicaraan tersebut akhirnya saya mengetahui nama ibu tersebut sebagai ibu Ida, beliau bertanya ke saya apakah saya dan keluarga baru pulang jalan-jalan dari luar negeri. Saya katakana kepada ibu tersebut bahwa benar kami baru pulang dari luar negeri ke beberapa negara, karena saya ingin memenuhi janji sebagai orang tua 1 ½ (satu setengah) tahun yang lalu, untuk berlibur ke negara tertentu pada musim salju, karena putra saya mau memenuhi keinginan kami untuk masuk ke Sekolah Islam terkemuka di Jakarta.

Akhirnya ibu Ida, meminta saya membantu menjelaskan beberapa ketentuan dalam bahasa Inggeris kepadanya.
Setelah saya membantu bu Ida, diluar dugaan saya ibu Ida menunjukkan kepada saya 2 (dua) unit blackberry bekas pemberian anak Boss nya, karena Boss nya sendiri sudah berusian sekitar 80 (delapan puluh) tahun, dan ia telah mengabdi di keluarga tersebut selama 10 (sepuluh) tahun. Bu Ida bercerita kepada saya, betapa enaknya menjadi orang terpelajar, karena anak Boss nya bekerja di Perusahaan Minyak di negara “V” dengan gaji jika ditukar ke rupiah bisa mencapai nilai di atas lima puluh juta rupiah. Saya hanya tersenyum saja dan berkata dalam hati “bu..ibu…lugu benar ibu ini, koq tidak bertanya apakah saya kerja atau tidak?? Kalau ibu tahu, saya juga bekerja di industri minyak dan gas bumi Indonesia.”
Secara kasat mata, yang keluar dari mulut saya saat itu adalah nasihat kepada bu Ida “bu.. khan tidak semua TKW di Arab Saudi beruntung seperti ibu, bisa punya majikan dan anak-anak majikan yang baiknya luar biasa. Tolong jangan sampai hp itu terlihat oleh teman-teman TKW lainnya, karena kalau mereka gelap mata, bisa mendorong mereka mencuri handphone itu dari tangan ibu.” Bu Ida hanya menjawab “iya bu, ini juga saya simpan di tas bagian dalam yang ada ritsluiting nya, gak tahu kenapa, koq saya percaya sekali kepada ibu, rasanya saya sudah mengenal ibu lama sekali. Kalau ibu mau tahu, gaji saya 1 (satu) bulan hanya sekitar 2 (dua) juta, memang sedikit jumlahnya untuk ukuran kerja di Arab, akan tetapi untuk saya,kerja itu khan tidak hanya uang semata-mata, akan tetapi kebaikan Boss saya yang menganggap saya sekeluarga seperti keluarganya, untuk saya pribadi nilainya lebih dari 2 (dua) juta rupiah bu”, demikian kata bu Ida kepada saya.

Setelah itu bu Ida menunjukkan kepada saya uang rial, mulai dari pecahan 1 rial, 5 rial, 20 rial dan 100 rial. Lalu bu Ida juga bilang ia sudah menukar rupiah sekitar 1 (satu) juta rupiah. Saya agak terkejut,karena melihat begitu banyak uang tunai yang beliau bawa. Lalu saya bilang: “bu,kalau sekedar ongkos pulang ke Sumedang, rp.500.000 juga rasanya lebih dari cukup, jadi sebaiknya yang 500 ribu lagi disimpan di tempat terpisah. Dan uang rial nya juga jangan dijadikan satu dengan uang rupiahnya, karena kalau itu hilang,maka uang ibu akan hilang semuanya.”

Setelah obrolan itu saya tertidur. Kurang lebih 1 jam menjelang tiba di Jakarta saya terbangun, tahukah anda semua apa yang terjadi pada saya? Tiba-tiba bu Ida mengatakan kepada saya “bu, ibu itu orang baik untuk saya, supaya ibu tetap mengingat saya, saya mau memberi ini untuk ibu”, sambil ia memberikan kepada saya 5 (lima) lembar uang 1 (satu) rial dan 1 (satu) lembar pecahan 5 (lima) rial dan 1 (satu) lembar pecahan 20 (dua puluh) rial.
Sekalipun saya katakan tak perlu, karena sebenarnya saya sendiri masih punya sedikit uang rial di rumah, bu Ida tetap memaksa saya. Akhirnya dengan membaca basmallah, saya terima uang tersebut dari bu Ida, lebih karena saya tidak ingin melukai perasaannya.
Sebagai balasannya, saya berikan juga beberapa pecahan uang euro, uang poundsterling, dollar Amerika, dollar Singapore dan uang dinar Dubai, sambil menjelaskan kepada bu Ida tentang di negara mana saja uang tersebut dapat dipergunakan.
Di luar dugaan saya bu Ida mengucapkan terima kasih dengan mata berkaca-kaca. Lalu beliau mendo’akan kami sekeluarga selalu menjadi keluarga yang sakinah mawahdah warahmah, diberkan limpahan ridho dan ridzki yang manfaat dan halal dari Allah swt. Jika saat itu saya bisa berteriak, menangis dan mohon ampun atas kekerdilan jiwa saya, rasanya ingin saya lakukan saat itu, Rasanya saya adalah manusia sangat kerdil dibandingkan seorang TKW Indonesia di Arab Saudi bernama bu Ida.

Tulisan saya di atas mungkin tidak bermakna bagi anda semua, akan tetapi bagi saya pribadi, setiap kali saya bertemu orang seperti bu Ida, saya selalu bertanya kepada diri saya sendiri “Bagaimana mereka belajar ketulusan?”. Karena ketulusan adalah hal yang tidak mudah, apalagi bagi orang-orang yang tinggal di seputaran Jabotabek dan beraktivitas di seputaran Jakarta. Satu pelajaran hidup lagi saya dapatkan dari seorang TKW Indonesia di Arab Saudi bernama bu Ida. Dengan tingkat kepandaian yang terbatas, dengan kesederhanaannya, beliau mampu memberikan devisa yang halal bagi negara Indonesia, menurut kaca mata saya, beliau adalah agent GCG (Good Corporate Governance), beliau juga adalah agent of change – terutama dalam hal perubahan untuk ketulusan, karena Tulu situ ternyata Tidak Mudah.
Terima kasih bu Ida, kau ajarkan saya satu hal sederhana yang sangat bermakna dalam hidup yaitu sikap tulus kepada siapapun, tanpa mengenal derajat, status sosial ekonomi, suku, etnis maupun agama.

1 komentar:

  1. intinya ada di following sentence ... "....sikap tulus kepada siapapun, tanpa mengenal derajat, status sosial ekonomi, suku, etnis maupun agama".
    alhamdulillah .....

    BalasHapus