Minggu, 15 April 2012

Judul: Mereka Bisa Karena Mereka Mau

Penulis Fifi Fiana
Jakarta 30 Maret 2012


Sebenarnya saya ingin berbagi dengan teman-teman sejak akhir bulan Januari 2012 yang lalu, akan tetapi karena kesibukan di dunia kerja dan tanggung jawab sebagai ibu dengan urusan domestik rumah tangga saya, maka baru hari ini sempat menulis lagi, setelah rasanya 1 (satu) tahun terakhir tidak aktif menulis.

Pada bulan Desember 2011 yang lalu, secara mendadak saya diminta untuk pergi ke Oman, mungkin banyak diantara kita tidak terlalu mengenal Oman. Oman adalah suatu negara kesultanan dengan wilayah yang tidak luas di daerah Timur Tengah, yang juga relatif bertetangga dengan Kerajaan Saudi Arabia dan Qatar.

Dalam perjalanan dinas pada bulan Desember 2011 tersebut saya tidak mendapatkan impresi apapun, kecuali suatu informasi bahwa Muscat, yaitu salah satu kota di Oman terpilih menjadi kota kedua obyek turisme dunia di tahun 2012 setelah kota London di Inggeris. Kesibukan saya menyelesaikan suatu misi pekerjaan pada Desember 2011 tersebut, membuat energi terkuras, bahkan saya tidak memiliki kesempatan untuk menonton TV lokal ataupun membaca Koran yang setiap hari dikirimkan ke kamar hotel tempat kami menginap. Antara keinginan membaca dengan kelelahan, akhirnya saya selalu memilih untuk beristirahat.

Akhir Januari 2012, lagi-lagi saya harus berangkat ke Oman, sebagai tindak lanjut perjalanan dinas pada bulan Desember 2011. Pada keberangkatan kedua tersebut, didalam hati saya bertekad untuk mengetahui negara Oman lebih jauh dan jika memungkinkan untuk mendapatkan suatu pelajaran positif dari kemajuan suatu negara.

Hari pertama di Oman, saya mengajak salah satu atasan yang ikut dalam perjalanan dinas yang notabene seorang Direktur untuk berolah raga sore dengan lari di pantai. Sebelum saya turun ke pantai, yang terbayang di benak saya adalah pantai tersebut menjadi milik exlusive hotel tempat kami menginap, yang notabene international five star chain hotel. Ternyata dugaan saya salah, karena ada pagar hotel dan akses pintu keluar dari halaman belakang hotel ke arah pantai.

Begitu masuk ke areal pantai, perasaan saya sangat terkejut, karena banyak sekali orang bermain bola atau mungkin futsal di pantai. Jika anda berpikir banyak dalam jumlah orang, maka..pemikiran anda bisa saya benarkan walaupun juga hal tersebut salah. Karena yang saya maksud adalah secara kelompok-kelompok, banyak kelompok yang bermain bola/futsal, yang secara otomatis menjadikan pantai tersebut penuh dengan orang bermain bola/futsal.

Kami berdua berlari ke arah kiri belakang hotel tempat kami menginap, setelah kurang lebih jarak 2 km berlari, kami putar haluan untuk berlari balik arah ke arah hotel tempat kami menginap.
Ketika posisi berlari kami telah berada di bagian belakang hotel lagi, saya meminta kepada boss saya untuk melanjutkan lari ke arah lebih jauh, untuk mengetahui seberapa banyak penduduk lokal atau mungkin beberapa turis menghabiskan waktu sore hari di pantai.

Bisa anda bayangkan dengan jarak lari yang telah kami lalui 4 km, kami masih berlari 1 km lagi ke arah berlawanan dari arah lari kami pada awalnya atau arah kanan dari bagian belakang hotel. Kemudian saya mengatakan kepada Boss saya: “Pak, bagaimana jika setelah itu kita lihat apakah ada akses jalan ke jalan raya dari jalan umum, sehingga kita bisa kembali ke hotel dari arah depan”. Boss saya pun setuju saja dengan usulan saya. Setelah selesai +/-5 km berlari, kami mulai jalan untuk peregangan, dan alangkah terpesonanya saya, bahwa ternyata diantara pantai dan bangunan hotel dan bangunan lainnya ada jalan setapak untuk orang jalan kaki.
Akhirnya..kami memutuskan jalan di jalan setapak yang kiri kanannya penuh tanaman hijau (hijaunya tanaman ini membuat kami tidak merasa di Timur Tengah). Jika anda berada di sana saat itu dengan saya, anda akan terkagum-kagum, sama seperti kekaguman saya kepada mereka. Karena ternyata ada lahan parkir yang rapih dan teratur, dimana banyak orang lokal datang dengan kendaraan masing-masing, lalu dengan pakaian olah raga jalan ke arah pantai untuk berolah raga. Tersadarlah saya, bahwa sekalipun bangunan hotel memiliki kemewahan karena berlokasi tepat di bibir pantai, akan tetapi pantai bukanlah milik exclusive hotel yang berada di sekitar areal tersebut. Pemerintah Oman membuatkan akses untuk penduduk dapat datang setiap hari ke pantai untuk berekreasi, Pemerintah Oman juga membuat penduduk nya tersenyum dan tertawa ceria karena dapat berekreasi dengan biaya yang murah. Coba anda bayangkan dengan situasi di Bali, dimana wilayah-wilayah tertentu yang pantainya menjadi wilayah exclusive hotel berbintang, atau bandingkan dengan pantai Ancol di Jakarta. Apakah anda bisa masuk secara gratis untuk main futsal di pantai Ancol?

Hari berikutnya kami dijamu makan siang oleh perwakilan kantor di Oman, yang menurut saya luar biasa nikmatnya makan siang tersebut.., pada kesempatan makan siang itu saya menanyakan kepada mereka, bahkan mungkin lebih kepada memuji, saya katakan kepada mereka “saya kagum dengan cara negara kamu menata kota, jelas mana wilayah publik, kemudian semua bangunan rumah diberi warna yang sama dan relatif bentuk rumah ada ciri khas tertentu, selain itu tanaman yang kalian tanam luar biasa indah pengaturannya dan juga permainan warna dari bunga-bunga yang ditanama (karena seingat saya hanya ada bunga warna putih, pink, biru dan ungu untuk di areal public/jalanan)”
Orang yang saya tanya katakanlah namanya pak Tata, pak Tata menjawab kepada saya “jika kamu datang ke Oman 20 tahun yang lalu, atau bahkan 10 tahun yang lalu, situasinya tidak seperti ini” Kemudian pak Tata menjelaskan bahwa pimpinan tertinggi di Oman yaitu seorang Sultan memanggil para ahli tata kota Internasional, mereka ingin ciri khas Oman tetap menonjol, akan tetapi kota-kota di negara Oman bisa menjadi obyek wisata dunia. Beberapa hal yang positif adalah bagaimana sistem gorong-gorong dibuat, lalu bagaimana ada pengelompokkan antara wilayah residensial dan wilayah bisnis, lalu standarisasi warna bangunan diimplementasikan (akan tetapi para warga diberikan kebebasan untuk mewarnai interior rumahnya masing-masing), bahkan bagaimana mereka melindungi tenaga kerjanya dengan suatu undang-undang yang dikenal dengan “Omani Law”
Dari bagaimana mereka menata infra-struktur negara/kota yang ada, akhirnya saya berkesimpulan mereka mengklasifikasikan dalam 2 hal “compulsory atau keharusan” untuk sesuatu yang berada atau terlihat dari ruang publik, serta “preference atau pilihan” yang hanya terlihat dan atau berada pada ruang private atau pribadi. Bagaimana mereka melakukan itu? Ternyata ada unsur paksaan, tapi mereka dengan caranya bisa memberikan pemahaman / edukasi untuk manfaat jangka panjangnya.

Jika anda semua tahu dengan dengan populasi penduduk di kisaran 2 juta penduduk dan produksi migasnya yang berada di kisaran 1 juta barrel oil per hari, serta kepadatan penduduk di bagi luas wilayahnya hanya sekitar 19-20 orang per km2, betapa kayanya negara kesultanan Oman tersebut. Dan hanya sekitar 14% penduduknya yang tinggal atau berdomisisli di kota-kota besar di Oman.
Tapi satu hal yang menurut saya pribadi sebagai pengunjung di Oman, mereka hebat adalah karena mereka berupaya menjaga Good Corporate Governance (“GCG”) nya.

Ternyata karena mereka selalu berupaya kuat dalam implementasi GCG, maka mereka berhasil (dengan paksaan atau tidak) dalam membangun negaranya lebih baik.

Lebih terkejut lagi ketika keesokan harinya saya membaca koran lokal ada 2 hal yang saya baca yaitu:
1. Pengumuman resmi Pemerintah soal beasiswa untuk kuliah S1 S2 dan S3 bagi penduduk Oman. Secara rinci di Koran tersebut dijelaskan berapa nilai alokasi beasiswa yang diberikan oleh Pemerintah untuk melanjutkan studi di dalam negeri dan luar negeri, serta penjelasan rinci tentang aturan main dan pendaftarannya
2. Pengumuman resmi Pemerintah yang dalam 1 (satu) minggu ke depan akan menutup aliran air ke 2 (dua) kota di Oman karena Pemerintah akan memasang sistem metering. Sehingga semua penduduk di kedua kota tersebut diminta untuk melakukan persiapan karena akan terhentinya pasokan air secara bertahap dalam 2 hari tersebut. Yang luar biasa bagi saya, karena Pemerintah Oman juga memberikan petunjuk untuk alternative mendapatkan air selama penutupan aliran air ke kedua daerah/kota tersebut.

Malam harinya menjelang tidur saya tercenung, rasanya dalam usia saya di pertengahan usia 40 tahun baru 3 kali saya membaca pengumuman PLN akan mematikan listrik, itu pun dari selebaran RT tempat saya tinggal dan dibagikan informasinya 1 hari sebelum pelaksanaan pemadaman listrik bergilir, tanpa adanya penjelasan yang rinci kenapa harus terjadi pemadaman listrik bergilir tersebut.

Akhirnya saya berkhayal “andaikan Pemerintah Indonesia mencoba transparan dalam semua aktivitas yang dilakukan, tentunya semua akan menjadi lebih mudah, sekalipun mungkin pada awalnya akan sulit karena Pemerintah harus membentuk suatu kultur baru bagi bangsa Indonesia”.

Hari terakhir dalam perjalanan dinas pada Januari 2012 yang lalu adalah hari Kamis yang notabene Kamis dan Jumat merupakan week-end di Oman. Karena penerbangan kami malam hari, maka hari Kamis tsb saya manfaatkan untuk melihat Grand Mosque di kota Muscat dan pergi ke kota bersejarah yang namanya Nizwa.

Ketika tiba di Grand Mosque, selain menyebut nama Allah di dalam hati, saya tercengang lama, melihat indahnya kompleks Grand Mosque atau Masjid Agung di Muscat. Lagi-lagi saya berpikir keras rasanya sama indahnya dengan Masjid Kubah Mas.
Tapi..perbedaan nyata yang ada adalah Masjid Agung di Muscat, inisiasi pembangunannya oleh Pemerintah dan masjid Kubah Mas inisiasinya dilakukan oleh perorangan. Hal lain yang menjadikannya berbeda, karena pada jam-jam di luar jam sholat, Masjid Agung Sultan Al Qaboos tersebut menjadi obyek wisata, dimana untuk semua wisatawan diwajibkan memakai kerudung ketika memasuki areal masjid tersebut.

Selesai berkunjung dan sempat melakukan sholat Dhuha di Masjid Agung di Muscat, kami meluncur dengan berkendaraan mobil ke kota Nizwa. Kami terus menerus melewati gurun pasir, tapi anehnya..saya tidak merasa berada diTimur Tengah, karena pada jarak tertentu ada pompa bensin dengan areal peristirahatan seperti di Eropa. Memang tidak seperti di Amerika yang areal peristirahatannya luas, tapi esensinya, mereka sudah memperhitungkan setelah jarak tempuh tertentu, baik pengemudi maupun penumpang, perlu beristirahat sejenak.

Nizwa juga merupakan kota yang Indah, semua obyek wisata diberikan penjelasan yang luar biasa rinci. Yang lebih mengagumkan lagi toilet umum yang saya masuki bersih dan dapat saya terima. Karena sejujurnya saya orang yang mudah merasa jijik jika masuk ke WC umum yang kotor.

Pelajaran yang bisa saya ambil dari Pemerintah Oman, bahwa Pemerintahnya tidak terlena atas kekayaan migas negaranya, dibuktikan dengan terminologi kerjasama yang tidak mudah dengan Pemerintah Oman; bukti lain, adalah bagaimana Pemerintah kesultanan Oman juga berusaha keras membenahi obyek pariwisata Oman menjadi obyek dan sarana pariwisata kelas dunia. Hal itu mereka lakukan dengan kerja keras, komitmen dan GCG.

Memang dengan penduduk yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan penduduk Jakarta, sepertinya terlihat mudah, akan tetapi substansi dari tulisan ini bagaimana suatu negara mengelola kemajuannya dengan berusaha keras di jalur yang benar. Pemerintah juga berupaya membuat penduduknya nyaman dengan memberikan fasilitas umum yang layak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar