Selasa, 23 Oktober 2012

Kejutan Kecil Persahabatan Bapak AP di Bulan Puasa 1433 H

Penulis : Fifi Fiana Tanggal : 09 September 2012 Sebenarnya saya terdorong menulis hal ini setelah mengalami “kejutan kecil persahabatan yang membahagiakan”, paling tidak bagi diri saya dan beberapa teman saya ketika awal meniti karir di MedcoEnergi group lebih dari 20 tahun yang lalu. Pada akhir Juli 2012 yang lalu, salah satu teman kerja saya di awal kerja dengan MedcoEnergi Group yang sekarang telah menjadi seorang notaris yang berhasil, mengirimkan “bbm” kepada saya, yang kurang lebih isinya: “Mbak ifi, mau diundang buka puasa bersama oleh mbak Cis minggu depan – kemungkinan awal Agustus, bisa yang mbak.., ditunggu konfirmasinya.” Saya lupa kapan persisnya saya membalas bbm tersebut, tapi inti jawaban bbm saya kepada Runi adalah kesediaan saya untuk hadir pada acara berbuka puasa tersebut. Satu hal yang menggelitik saya untuk berbicara dengan suami saya adalah: 1. Undangan berbuka puasa tersebut tidak disampaikan langsung oleh mbak Cis. 2. Teman yang mengirimkan bbm – Runi, berkali-kali mengingatkan tentang acara berbuka puasa tersebut dan terus memastikan siapa saja yang akan hadir dalam acara tersebut. Dalam pembicaraan dengan suami, saya hanya menyampaikan perasaan saya bahwa yang mengundang berbuka puasa, jangan-jangan bapak Arifin Panigoro, mengingat beliau selalu membuat kejutan-kejutan kecil ke mantan pegawainya yang mempunyai hubungan kerja baik dengan beliau di masa lalu. Singkat cerita, tanggal 06 Agustus 2012 itu pun tiba, yaitu hari Senin, karena acara berkumpul di suatu restaurant di kawasan Kebayoran Baru ditetapkan jam 17.00, maka saya berangkat dari kantor saya di kawasan SCBD Sudirman sekitar jam 16.40, dimana saya mampir ke Office-8 di Jl. Senopati untuk menjemput seorang teman. Ternyata karena jarak yang relatif dekat, maka sebelum jam 17.00 kami sudah tiba di tempat undangan, akhirnya saya dan teman saya kak Lela, memutuskan duduk di mobil sampai dengan jam 17.15 an untuk obrolan ringan pelepas rasa kangen diantara kami berdua. Bisa dikatakan obrolan kami adalah obrolan lazimnya ibu-ibu, yang hanya bercerita seputar anak-anak kami, kegiatan rumah tangga kami dan apa yang kami lakukan dengan uang hasil kerja kami. Sempat kami berdua membicarakan mengenai hand-phone, karena ternyata saya dan kak Lela, bukan penggila gadget. Kak Lela tertawa ketika melihat “bb” saya yang layarnya sudah agak rusak, dan saya pun tertawa, karena ternyata kak Lela – walau mempunyai 2 handphone, ternyata tidak ada satupun yang blackberry. Ketika sedang asyik mengobrol, tiba-tiba telepon kak Lela berdering, ternyata mbak Cis yang menelepon kak Lela. Mbak Cis menanyakan posisi kak Lela, mungkin ada kekhawatiran kak Lela tidak akan datang, karena mbak Cis merasa dirinya lupa memberitahu kak Lela tentang acara buka puasa pada hari tersebut. Sampai akhirnya saya berbicara dengan suara agak lantang “mbak Cis..kak Lela sudah dengan aku…. dengan ifi, kita sudah di depan restaurant…dan sebentar lagi kita masuk ke restaurant koq.” Terdengar dari kejauhan mbak Cis tertawa…., dan akhirnya menyudahi pembicaraan per telepon dengan kak Lela. Setelah kak Lela menutup telepon, saya berbicara kepada beliau :”Kak Lela, koq saya punya perasaan kalau pak Arifin Panigoro akan hadir dalam acara buka puasa ini… Malah…koq saya punya perasaan, acara buka puasa ini sebenarnya undangan beliau…. Soalnya aneh saja, kalau mbak Cis yang mengundang kita semua, koq kenapa yang bolak balik follow up ke kita semua si ibu notaris alias Runi.” Alhasil…sampai kami memutuskan memasuki pintu restaurant, rasa penasaran saya yang saya ungkapkan kepada suami saya sebelumnya dan lalu kepada kak Lela, tetap belum terjawab. Ketika kami berdua memasuki restaurant, ternyata…belum satupun dari +/- 11 orang yang akan hadir sudah datang. Alhamdulillah..tak lama setelah kami berdua datang, tidak lama kemudian mbak Cis dan beberapa teman lain menyusul. Akan tetapi saya merasa heran karena saya tidak melihat Runi muncul, sampai akhirnya saya bertanya ke mbak Cis :” mbak..mana Runi koq belum datang ?”. Mbak Cis sambil tertawa-tawa hanya mengatakan “mungkin dia masih di Jl. J”. Karena rasa penasaran kenapa yang mengatur acara hari itu belum hadir, maka saya bbm Runi, jawaban Runi di bbm sangat singkat “Sebentar mbak…masih nunggu Bapak.” Membaca jawaban Runi, saya langsung menunjukkan bbm tersebut ke kak Lela, saya bilang “koq saya benar-benar punya perasaan kalau pak Arifin Panigoro akan datang ya…, tapi…gak tahu juga deh kak Lela”. Singkat cerita kami mulai berbuka dengan tajil, lalu sekalipun kami telah memesan minuman / juice, tepi….karena melihat di meja lain ada yang pesan minuman durian, kami pun pesan minuman yang sama, dan melupakan bahwa durian mempunyai kandungan gula dan kalori yang tinggi. Bahkan…saking semangatnya berbuka, saya sempat menumpahkan minuman juice, untung saja pihak restaurant sangat sigap dan segera membersihkannya. Ketika sedang asyik-asyiknya kami makan, tiba-tiba saya merasa suasana tiba-tiba hening, ketika saya melihat ke arah pintu, ternyata pak Arifin Panigoro datang, sambil mengatakan “teruskan saja makannya..saya gampang koq, karena nanti pun jam 20.00 saya ada janji dinner dengan orang lain.” Seperti biasa…beliau menanyakan aktivitas kami semua, sampai beliau bertanya “…. jadi…yang masih kerja di Medco siapa?? Tinggal kamu ya Fi??” dengan santun tentunya saya menjawab “iya pak, tinggal saya”, yang lain memang masih bekerja di Drilling Company yang sudah bukan lagi menjadi bagian MedcoEnergi group sejak beberapa tahun terakhir, lalu ada beberapa orang yang sudah benar-benar hanya menjadi ibu rumah tangga karena alasan pensiun maupun berhenti. Yang sangat menyenangkan…seperti menjadi ritual yang harus dilakukan, kami berfoto bersama dengan pak Arifin Panigoro, lalu memanggil penyanyi yang berkeliling dari meja ke meja di fine dining restaurant tersebut, tertawa-tawa seolah-olah kami berada dalam posisi status sosial ekonomi yang sama. Padahal… jelas sekali kami berbeda. Yang seorang pemilik perusahaan, saya sendiri pegawai dari salah satu perusahaan yang dimilikinya, sisanya teman-teman yang pernah mengabdi bersama di perusahaan milik beliau. Hati kecil saya saat itu hanya berkata: “Ya Allah..betapa mulianya pak Arifin Panigoro, berikan beliau usia yang panjang dengan nikmat sehat dan karunia Mu Ya Allah, sehingga beliau terus dapat melakukan kebaikan bagi bangsa ini dalam sisa usia yang Engkau berikan.” Tak terasa, waktu telah menunjukkan lebih dari jam 20.00, lalu kita semua mengingatkan beliau akan janji makan malam beliau dengan seseorang. Tak terduga, sebelum pulang, beliau memberikan kami semua Kejutan Kecil Persahabatan, dimana beliau berbagi hadiah Lebaran dengan kami semua. Saya pribadi tidak melihat dari nilainya, akan tetapi saya menghargai niat beliau bersilaturahim dan berbagi rejeki kepada orang-orang tanpa melihat atribut jabatan dan status sosial ekonomi. Pak Arifin, sejujurnya, kekaguman saya kepada Bapak sebagai seorang entrepreneur maupun sosok Bapak pribadi semakin bertambah. Akhir kata, mudah-mudahan dengan tulisan ini, akan mengingatkan kita semua tentang arti “persahabatan”, tentang arti hidup “down to earth” agar kita selalu bisa menjadi orang yang mensyukuri apa yang kita peroleh dari yang Maha Kuasa, dan berbagi kepada yang lain tanpa syarat, serta menjaga persahabatan sampai kapanpun sekalipun kita telah menjadi orang yang sangat berhasil. Satu harapan saya, semoga kisah ini bisa memberikan inspirasi positif bagi kita semua tentang nilai persahabatan, tanpa pernah melihat status seseorang. Persahabatan selalu dapat membuat kita berbagi dalam banyak hal dan berbagai situasi.

Minggu, 15 April 2012

Judul: Mereka Bisa Karena Mereka Mau

Penulis Fifi Fiana
Jakarta 30 Maret 2012


Sebenarnya saya ingin berbagi dengan teman-teman sejak akhir bulan Januari 2012 yang lalu, akan tetapi karena kesibukan di dunia kerja dan tanggung jawab sebagai ibu dengan urusan domestik rumah tangga saya, maka baru hari ini sempat menulis lagi, setelah rasanya 1 (satu) tahun terakhir tidak aktif menulis.

Pada bulan Desember 2011 yang lalu, secara mendadak saya diminta untuk pergi ke Oman, mungkin banyak diantara kita tidak terlalu mengenal Oman. Oman adalah suatu negara kesultanan dengan wilayah yang tidak luas di daerah Timur Tengah, yang juga relatif bertetangga dengan Kerajaan Saudi Arabia dan Qatar.

Dalam perjalanan dinas pada bulan Desember 2011 tersebut saya tidak mendapatkan impresi apapun, kecuali suatu informasi bahwa Muscat, yaitu salah satu kota di Oman terpilih menjadi kota kedua obyek turisme dunia di tahun 2012 setelah kota London di Inggeris. Kesibukan saya menyelesaikan suatu misi pekerjaan pada Desember 2011 tersebut, membuat energi terkuras, bahkan saya tidak memiliki kesempatan untuk menonton TV lokal ataupun membaca Koran yang setiap hari dikirimkan ke kamar hotel tempat kami menginap. Antara keinginan membaca dengan kelelahan, akhirnya saya selalu memilih untuk beristirahat.

Akhir Januari 2012, lagi-lagi saya harus berangkat ke Oman, sebagai tindak lanjut perjalanan dinas pada bulan Desember 2011. Pada keberangkatan kedua tersebut, didalam hati saya bertekad untuk mengetahui negara Oman lebih jauh dan jika memungkinkan untuk mendapatkan suatu pelajaran positif dari kemajuan suatu negara.

Hari pertama di Oman, saya mengajak salah satu atasan yang ikut dalam perjalanan dinas yang notabene seorang Direktur untuk berolah raga sore dengan lari di pantai. Sebelum saya turun ke pantai, yang terbayang di benak saya adalah pantai tersebut menjadi milik exlusive hotel tempat kami menginap, yang notabene international five star chain hotel. Ternyata dugaan saya salah, karena ada pagar hotel dan akses pintu keluar dari halaman belakang hotel ke arah pantai.

Begitu masuk ke areal pantai, perasaan saya sangat terkejut, karena banyak sekali orang bermain bola atau mungkin futsal di pantai. Jika anda berpikir banyak dalam jumlah orang, maka..pemikiran anda bisa saya benarkan walaupun juga hal tersebut salah. Karena yang saya maksud adalah secara kelompok-kelompok, banyak kelompok yang bermain bola/futsal, yang secara otomatis menjadikan pantai tersebut penuh dengan orang bermain bola/futsal.

Kami berdua berlari ke arah kiri belakang hotel tempat kami menginap, setelah kurang lebih jarak 2 km berlari, kami putar haluan untuk berlari balik arah ke arah hotel tempat kami menginap.
Ketika posisi berlari kami telah berada di bagian belakang hotel lagi, saya meminta kepada boss saya untuk melanjutkan lari ke arah lebih jauh, untuk mengetahui seberapa banyak penduduk lokal atau mungkin beberapa turis menghabiskan waktu sore hari di pantai.

Bisa anda bayangkan dengan jarak lari yang telah kami lalui 4 km, kami masih berlari 1 km lagi ke arah berlawanan dari arah lari kami pada awalnya atau arah kanan dari bagian belakang hotel. Kemudian saya mengatakan kepada Boss saya: “Pak, bagaimana jika setelah itu kita lihat apakah ada akses jalan ke jalan raya dari jalan umum, sehingga kita bisa kembali ke hotel dari arah depan”. Boss saya pun setuju saja dengan usulan saya. Setelah selesai +/-5 km berlari, kami mulai jalan untuk peregangan, dan alangkah terpesonanya saya, bahwa ternyata diantara pantai dan bangunan hotel dan bangunan lainnya ada jalan setapak untuk orang jalan kaki.
Akhirnya..kami memutuskan jalan di jalan setapak yang kiri kanannya penuh tanaman hijau (hijaunya tanaman ini membuat kami tidak merasa di Timur Tengah). Jika anda berada di sana saat itu dengan saya, anda akan terkagum-kagum, sama seperti kekaguman saya kepada mereka. Karena ternyata ada lahan parkir yang rapih dan teratur, dimana banyak orang lokal datang dengan kendaraan masing-masing, lalu dengan pakaian olah raga jalan ke arah pantai untuk berolah raga. Tersadarlah saya, bahwa sekalipun bangunan hotel memiliki kemewahan karena berlokasi tepat di bibir pantai, akan tetapi pantai bukanlah milik exclusive hotel yang berada di sekitar areal tersebut. Pemerintah Oman membuatkan akses untuk penduduk dapat datang setiap hari ke pantai untuk berekreasi, Pemerintah Oman juga membuat penduduk nya tersenyum dan tertawa ceria karena dapat berekreasi dengan biaya yang murah. Coba anda bayangkan dengan situasi di Bali, dimana wilayah-wilayah tertentu yang pantainya menjadi wilayah exclusive hotel berbintang, atau bandingkan dengan pantai Ancol di Jakarta. Apakah anda bisa masuk secara gratis untuk main futsal di pantai Ancol?

Hari berikutnya kami dijamu makan siang oleh perwakilan kantor di Oman, yang menurut saya luar biasa nikmatnya makan siang tersebut.., pada kesempatan makan siang itu saya menanyakan kepada mereka, bahkan mungkin lebih kepada memuji, saya katakan kepada mereka “saya kagum dengan cara negara kamu menata kota, jelas mana wilayah publik, kemudian semua bangunan rumah diberi warna yang sama dan relatif bentuk rumah ada ciri khas tertentu, selain itu tanaman yang kalian tanam luar biasa indah pengaturannya dan juga permainan warna dari bunga-bunga yang ditanama (karena seingat saya hanya ada bunga warna putih, pink, biru dan ungu untuk di areal public/jalanan)”
Orang yang saya tanya katakanlah namanya pak Tata, pak Tata menjawab kepada saya “jika kamu datang ke Oman 20 tahun yang lalu, atau bahkan 10 tahun yang lalu, situasinya tidak seperti ini” Kemudian pak Tata menjelaskan bahwa pimpinan tertinggi di Oman yaitu seorang Sultan memanggil para ahli tata kota Internasional, mereka ingin ciri khas Oman tetap menonjol, akan tetapi kota-kota di negara Oman bisa menjadi obyek wisata dunia. Beberapa hal yang positif adalah bagaimana sistem gorong-gorong dibuat, lalu bagaimana ada pengelompokkan antara wilayah residensial dan wilayah bisnis, lalu standarisasi warna bangunan diimplementasikan (akan tetapi para warga diberikan kebebasan untuk mewarnai interior rumahnya masing-masing), bahkan bagaimana mereka melindungi tenaga kerjanya dengan suatu undang-undang yang dikenal dengan “Omani Law”
Dari bagaimana mereka menata infra-struktur negara/kota yang ada, akhirnya saya berkesimpulan mereka mengklasifikasikan dalam 2 hal “compulsory atau keharusan” untuk sesuatu yang berada atau terlihat dari ruang publik, serta “preference atau pilihan” yang hanya terlihat dan atau berada pada ruang private atau pribadi. Bagaimana mereka melakukan itu? Ternyata ada unsur paksaan, tapi mereka dengan caranya bisa memberikan pemahaman / edukasi untuk manfaat jangka panjangnya.

Jika anda semua tahu dengan dengan populasi penduduk di kisaran 2 juta penduduk dan produksi migasnya yang berada di kisaran 1 juta barrel oil per hari, serta kepadatan penduduk di bagi luas wilayahnya hanya sekitar 19-20 orang per km2, betapa kayanya negara kesultanan Oman tersebut. Dan hanya sekitar 14% penduduknya yang tinggal atau berdomisisli di kota-kota besar di Oman.
Tapi satu hal yang menurut saya pribadi sebagai pengunjung di Oman, mereka hebat adalah karena mereka berupaya menjaga Good Corporate Governance (“GCG”) nya.

Ternyata karena mereka selalu berupaya kuat dalam implementasi GCG, maka mereka berhasil (dengan paksaan atau tidak) dalam membangun negaranya lebih baik.

Lebih terkejut lagi ketika keesokan harinya saya membaca koran lokal ada 2 hal yang saya baca yaitu:
1. Pengumuman resmi Pemerintah soal beasiswa untuk kuliah S1 S2 dan S3 bagi penduduk Oman. Secara rinci di Koran tersebut dijelaskan berapa nilai alokasi beasiswa yang diberikan oleh Pemerintah untuk melanjutkan studi di dalam negeri dan luar negeri, serta penjelasan rinci tentang aturan main dan pendaftarannya
2. Pengumuman resmi Pemerintah yang dalam 1 (satu) minggu ke depan akan menutup aliran air ke 2 (dua) kota di Oman karena Pemerintah akan memasang sistem metering. Sehingga semua penduduk di kedua kota tersebut diminta untuk melakukan persiapan karena akan terhentinya pasokan air secara bertahap dalam 2 hari tersebut. Yang luar biasa bagi saya, karena Pemerintah Oman juga memberikan petunjuk untuk alternative mendapatkan air selama penutupan aliran air ke kedua daerah/kota tersebut.

Malam harinya menjelang tidur saya tercenung, rasanya dalam usia saya di pertengahan usia 40 tahun baru 3 kali saya membaca pengumuman PLN akan mematikan listrik, itu pun dari selebaran RT tempat saya tinggal dan dibagikan informasinya 1 hari sebelum pelaksanaan pemadaman listrik bergilir, tanpa adanya penjelasan yang rinci kenapa harus terjadi pemadaman listrik bergilir tersebut.

Akhirnya saya berkhayal “andaikan Pemerintah Indonesia mencoba transparan dalam semua aktivitas yang dilakukan, tentunya semua akan menjadi lebih mudah, sekalipun mungkin pada awalnya akan sulit karena Pemerintah harus membentuk suatu kultur baru bagi bangsa Indonesia”.

Hari terakhir dalam perjalanan dinas pada Januari 2012 yang lalu adalah hari Kamis yang notabene Kamis dan Jumat merupakan week-end di Oman. Karena penerbangan kami malam hari, maka hari Kamis tsb saya manfaatkan untuk melihat Grand Mosque di kota Muscat dan pergi ke kota bersejarah yang namanya Nizwa.

Ketika tiba di Grand Mosque, selain menyebut nama Allah di dalam hati, saya tercengang lama, melihat indahnya kompleks Grand Mosque atau Masjid Agung di Muscat. Lagi-lagi saya berpikir keras rasanya sama indahnya dengan Masjid Kubah Mas.
Tapi..perbedaan nyata yang ada adalah Masjid Agung di Muscat, inisiasi pembangunannya oleh Pemerintah dan masjid Kubah Mas inisiasinya dilakukan oleh perorangan. Hal lain yang menjadikannya berbeda, karena pada jam-jam di luar jam sholat, Masjid Agung Sultan Al Qaboos tersebut menjadi obyek wisata, dimana untuk semua wisatawan diwajibkan memakai kerudung ketika memasuki areal masjid tersebut.

Selesai berkunjung dan sempat melakukan sholat Dhuha di Masjid Agung di Muscat, kami meluncur dengan berkendaraan mobil ke kota Nizwa. Kami terus menerus melewati gurun pasir, tapi anehnya..saya tidak merasa berada diTimur Tengah, karena pada jarak tertentu ada pompa bensin dengan areal peristirahatan seperti di Eropa. Memang tidak seperti di Amerika yang areal peristirahatannya luas, tapi esensinya, mereka sudah memperhitungkan setelah jarak tempuh tertentu, baik pengemudi maupun penumpang, perlu beristirahat sejenak.

Nizwa juga merupakan kota yang Indah, semua obyek wisata diberikan penjelasan yang luar biasa rinci. Yang lebih mengagumkan lagi toilet umum yang saya masuki bersih dan dapat saya terima. Karena sejujurnya saya orang yang mudah merasa jijik jika masuk ke WC umum yang kotor.

Pelajaran yang bisa saya ambil dari Pemerintah Oman, bahwa Pemerintahnya tidak terlena atas kekayaan migas negaranya, dibuktikan dengan terminologi kerjasama yang tidak mudah dengan Pemerintah Oman; bukti lain, adalah bagaimana Pemerintah kesultanan Oman juga berusaha keras membenahi obyek pariwisata Oman menjadi obyek dan sarana pariwisata kelas dunia. Hal itu mereka lakukan dengan kerja keras, komitmen dan GCG.

Memang dengan penduduk yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan penduduk Jakarta, sepertinya terlihat mudah, akan tetapi substansi dari tulisan ini bagaimana suatu negara mengelola kemajuannya dengan berusaha keras di jalur yang benar. Pemerintah juga berupaya membuat penduduknya nyaman dengan memberikan fasilitas umum yang layak.

Judul: Recital Piano Bubi Sutomo Memberi Kesadaran Arti Persahabatan

Penulis : Fifi Fiana
Tanggal : 13 April 2012


Beberapa minggu yang lalu saya menerima personal blackberry message atau yang biasa dikenal sebagai “bbm” dari teman kecil sekolah saya yaitu Bubi Iriadi.
Sayangnya bbm tersebut sudah terhapus, tapi inti dari bbm tersebut adalah menyampaikan bahwa Bubi ingin mengadakan recital piano lintas persahabatan. Sebagai temannya, Bubi ingin saya hadir dalam recital piano lintas persahabatan yang diadakannya. Dalam bbm itu pun disampaikan oleh Bubi bahwa harga tiketnya relatif murah hanya rp.150.000 per orang yang menurut bbm dari Bubi termasuk dapat minuman dan makanan. Selain itu Bubi juga memberitahu kepada saya contact person yang dapat dihubungi untuk mendapatkan tiket recital piano tersebut.

Seperti biasa jawaban bbm saya singkat saja dengan mengatakan “OK, nanti aku tanya suami dan anak-anakku dulu ya….”

Tapi memang saat itu di hati kecil saya ingin menonton recital piano Bubi, alasan pertama saya ingin melihat kemajuan berpianonya, karena rasanya terakhir kali melihat Bubi bermain piano dan keyboard semasa saya bersekolah di SMP Islam Al Azhar di Jl. Sisingamangaraja, Jakarta. Karena seusai SMP saya melanjutkan pendidikan tingkat SMA di sekolah negeri di kota Jakarta juga.
Alasan kedua, karena ibunda Bubi Sutomo yang semasa sekolah saya kenal sebagai Bubi Iriadi tersebut adalah teman sekolah almarhum bapak saya di arsitektur Institut Teknologi Bandung (“ITB”).

Rencananya saya ingin membeli 4 tiket untuk menonton bersama suami dan kedua anak lelaki saya, akan tetapi akhirnya hanya membeli 2 tiket, karena katanya sudah habis, dan saya tidak berusaha untuk mencari tiket ke tempat penjualan tiket lainnya, karena kalaupun dapat tiketnya, membuat saya dan suami harus duduk terpisah dengan kedua anak kami.

Hari yang ditunggu tibalah, yaitu tanggal 11 April 2012 hari Rabu, dimana saya berusaha pulang kantor tepat waktu, karena saya ingin sebelum menonton pertunjukkan saya sudah mandi dan sempat memastikan anak bungsu kami yang kelas III SMP (kelas IX) belajar untuk menghadapi ujian nasional minggu terakhir bulan April 2012 nanti.
Saya sempat merasa sedih, karena suami saya agak telat pulang, tapi syukurlah, akhirnya suami saya datang sekitar jam 6 sore.

Setelah persiapan dengan ‘dress code’ warna hitam, kami berangkat dari rumah sekitar jam 18.30, sekitar jam 19.00 ketika kami sedang antri mengambil tiket parkir di Taman Ismail Marzuki – Jakarta (“TIM”), salah satu teman lainnya mengirimkan bbm, menanyakan apakah saya malam itu menonton recital piano Bubi. Lalu saya katakan “ya nonton, tapi mau masuk TIM saja antri.”

Setelah mengambil tiket parkir, akhirnya saya mengajak suami untuk turun jalan kaki karena relatif sangat macet antrian mobil di lahan parkir TIM tersebut dan kebetulan kami diantar supir kami. Sejujurnya saya takut telat, karena acaranya hanya dari jam 19.00-21.00 saja. Sampai di areal Teater Kecil TIM, kami langsung masuk, awalnya saya tidak bertemu siapapun yang saya kenal, lalu saya ajak suami untuk minum teh hangat yang disediakan sayangnya suami saya menolak, karena saya tahu betul jika suami saya telat makan akan migrain. Padahal, malam itu kami pasti telat makan, karena waktu berangkat dari rumah kami tidak sempat makan malam terlebih dahulu.

Tidak lama, kami diminta masuk ke dalam ruang Teater Kecil TIM, pada saat antri masuk tersebut, barulah saya mulai bertemu dengan teman-teman masa kecil saya. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata…ketika kami sudah masuk ke dalam teater kecil tersebut, saya dan suami dapat duduk baris kedua dari panggung, dimana baris pertama dan kedua tersebut seingat saya adalah alumni baik SMP maupun SMA Al Azhar yang berlokasi di jl. Sisingamangaraja (“SMP Alpus dan SMA Alpus”).

Sejujurnya, sejak lulus SMP dari SMP Alpus sampai dengan sekarang, rasanya saya tidak sampai 10 kali bertemu mereka dalam berbagai acara. Alasan utama bagi diri saya karena memang secara pribadi saya tidak pernah ingin terlalu mendekatkan diri secara long lasting dengan seseorang, sehingga memang rasanya sampai dengan saat ini saya tidak mempunyai sahabat yang secara intens selalu bertemu dengan saya. Hanya beberapa teman yang saya ingat namanya Apit (Diavitri) yang datang dengan adiknya Anggi. Apit adalah teman naik bajaj bersama ketika kami di SMP Alpus dan semasa SMP saya sangat dekat dengan Apit sehingga mengenal orang tua dan semua saudara kandungnya. Kemudian Yana Sofyan dan suaminya Dede Gusman, Yana adalah teman sejak TK yang memiliki saudara kembar laki-laki bernama Yani, dulu ketika kami SMP, rumah orang tuanya di Jl. Panglima Polim Jakarta, menjadi tempat tongkrongan kami untuk nonton video, salah satunya “Grease” yang sangat terkenal dengan bintang John Travolta dan Olivia Newton John, Yana dekat dengan Dede sejak SMP sampai akhirnya menikah. Lalu Averus, seingat saya Averus baru mulai bersekolah di Al Azhar ketika SMP. Adalagi Yayan Cahyana teman bersekolah sejak TK, saya selalu ingat Yayan, karena orang tuanya juga kenalan orang tua saya, dan tanggal lahir Yayan hanya berbeda 2 (dua) hari dari ulang tahun saya. Lalu ada Anita, sesungguhnya saya tidak pernah bersama dalam satu sekolah dengan Anita, karena Anita masuk di Al Azhar ketika SMA, sedangkan saat itu saya sudah keluar dari lingkungan Al Azhar yang memberikan saya banyak pengetahuan dasar sejak TK sampai dengan SMP. Kenapa saya bisa kenal Anita? Karena diperkenalkan oleh teman-teman SMP saya pada suatu acara reuni SMP-SMA Alpus dan satu hal lainnya, Anita sangat friendly, sehingga membuat saya nyaman berkomunikasi sebagai teman dengan Anita. Yang terakhir adalah Ira, sama dengan Anita, saya tidak pernah bertemu Ira dalam sekolah yang sama, tapi saya kenal Ira karena sempat bersama sebagai team drum-band Al Azhar, tapi memang relatif komunikasi saya dengan Ira seringkali hanya terbatas mengatakan “apa khabar..atau hallo”. Lalu ada Iin yang menegur saya, tapi saya jadi malu sendiri karena saya benar-benar tidak bisa me recall memory saya tentang Iin.

Dalam sequence recital piano tersebut menurut sudut pandang saya merupakan recital piano yang unik, karena:
1. Recital piano tersebut dikemas dalam perpaduan seperti pertunjukan komersil yang penuh suasana kekeluargaan, karena banyak diantara kami saling mengenal.
2. Dalam pembukaan acara pun sang tuan rumah sekaligus pembuka acara Toni Sianipar menyampaikan, bahwa recital piano Bubi adalah recital piano Lintas Persahabatan, dimana ada teman-teman sekolah Bubi ketika SMA (walau ketika Toni Sianipar mengatakan hal itu, hati saya menjerit…saya teman SMP!!). Lalu ia menyampaikan juga ada teman-teman Bubi ketika kuliah di ITB, teman-teman Bubi di Elfa Secoria dan juga tokoh musik Indonesia yang dipanggil oleh Toni Sianipar sebagai mas Tamam.

Bagian Pertama dari pertunjukkan, dapat dikatakan adalah bagian dimana Bubi menunjukkan kepiawaian berpianonya, yang rasanya untuk saya yang selalu punya mimpi dapat bermain piano, cara bermain piano Bubi luar biasa, sampai saya bilang kepada suami saya, andai saja Dhaneswara anak tertua kami ikut nonton, pasti akan memberikan inspirasi dan motivasi untuk tuntas belajar piano. Karena tidak ada kata terlambat untuk belajar main piano.

Ketika bagian kedua dimulai, saya mulai kaget, Bubi yang saya kenal ketika SMP anak yang low profile dan relatif pendiam, mulai memegang mike dan berbicara menyampaikan cerita dengan siapa dia akan bermain.
Bagian kedua sesi pertama, dia bermain dengan teman-teman dari SMP sampai dengan SMA, yang saya kenal, termasuk penyanyi nya Emil yang saya kenal karena persahabatan orang tua kami, dimana masa kecil kami sering berlibur 3 keluarga bersama ke Puncak. Lalu ada juga Aditiawarman yang kami sama-sama satu sekolah semasa di SMP dan memiliki teman bermain yang dekat yang sama yaitu Linda Naro.

Saya agak terkejut juga ketika Bubi mengatakan terima kasih kepada bang Emil yang menyempatkan diri untuk berpartisipasi, karena dari teater Jakarta, bang Emil yang mempunyai acara lain yaitu show menyanyi di tempat lain langsung meninggalkan Teater Kecil TIM.

Kemudian Bubi dengan teman-teman Kahitna nya, termasuk pemusik dan pengarang lagu untuk industri pop terkenal Yovi W, bermain lagu Casiopea. Ketika Yovi bermain piano, ia menyampaikan jika Bubi adalah sahabatnya dan menyampaikan bahwa ia senang bisa bermain piano di recital piano Bubi, karena dia bisa bermain yang berbeda, tidak seperti di industri musik yang digelutinya, yang harus mengikuti selera konsumen.

Saya lupa pada segmen yang mana, tapi dalam salah satu segmen, Bubi menyampaikan arti persahabatan untuk nya. Intinya persahabatan itu adalah sesuatu yang tidak akan tergerus waktu, persahabatan itu tidak mengenal status sosial dan ekonomi seseorang, persahabatan itu yang selalu membuat ia ingin mempersembahkan sesuatu bagi sahabat-sahabatnya. Dan ia merasa malam itu berada diantara para sahabatnya.

Ketika menyimak perkataan Bubi malam itu, saya terdiam dan tercenung, kemudian saya berkata kepada diri saya sendiri “Ya Allah Bubi, beda sekali kamu dengan saya, saya berusaha baik sebagai teman, tapi saya cenderung tidak ingin menjalin persahabatan yang long lasting, karena saya takut dikhianati atau mengkhianati persahabatan yang ada.”
Pertunjukkan pun dilanjutkan ada segmen Bubi bernyanyi dengan Vivin yang menyanyikan lagi ciptaan Bubi. Suami saya pun sangat impress dan langsung meminta saya untuk menghubungi Bubi dimana bisa mendapatkan CD dari lagu ciptaan Bubi yang dibawakan oleh Vivin.

Lalu ada segmen penyanyi Carlo (Kahitna) juga membawakan lagu karangan Bubi, dan Bubi memainkan musik dengan tim Paduan Suara Alumni ITB, sampai akhirnya pada puncak acara, Bubi mengucapkan terima kasih kepada para sponsor yang mendukung acara recital piano lintas persahabatannya, ditutup dengan semua pendukung acara naik ke atas panggung termasuk ayahanda beliau yang berusia 80 (delapan puluh) tahun.
Pada puncak acara tersebut, teman-teman SMP saya mengajak naik ke atas panggung juga, awalnya saya ragu-ragu, keraguan saya muncul, karena saya merasa belum tentu Bubi ingat saya, saya pikir daripada saya malu di atas panggung, lebih baik saya menonton dari bawah suasana hingar bingar dan suasana bahagia penuh persahabatan di atas panggung malam itu. Sementara saat itu suami saya sudah keluar gedung karena mulai pusing/migrain.

Tapi akhirnya saya naik juga ke atas panggung, satu hal yang mengejutkan saya ketika saya mengucapkan selamat kepada Bubi dengan bersalaman ia mengatakan “Fifi…terima kasih ya sudah datang dan menonton.” Mungkin hari ini Bubi sudah lupa perkataan yang dia sampaikan kepada saya, akan tetapi untuk saya pribadi sangat berarti, karena dalam sesi pertemuan yang sangat …sangat…sangat……jarang dengan saya, Bubi masih mengenali saya sebagai temannya.

Sikap Bubi, semua kata-kata dia selama recital piano tersebut, menyadarkan saya arti persahabatan dan pertemanan yang tidak akan pernah lekang oleh waktu, yang tidak akan pernah terhapus dengan status sosial ekonomi, yang tidak akan pernah tertelan bumi dan hilang karena bencana alam. Persahabatan dan pertemanan adalah bagaimana kita tetap menjaga hubungan baik dengan teman-teman yang kita kenal. Jika sekali-kali terjadi friksi, hal tersebut harus dianggap sebagai dinamika pertemanan dan persahabatan dan bukan memutuskan tali persahabatan dan pertemanan itu sendiri.
Sayangnya saya tidak dapat terlalu lama dan melanjutkan acara ngobrol-ngobrol dengan Bubi, karena saya tidak nyaman jika suami saya harus menunggu saya sendirian di lingkungan yang ia kurang familiar, selain itu putra kami lainnya yang duduk di SMA memerlukan supir kami untuk mengantar dia pergi ke fotocopy dan penjilidan 24 jam, untuk tugas sekolah yang harus dikumpulkannya pada tanggal 12 April 2012.

Terima kasih ya Allah, Engkau perkenalkan aku dengan seseorang seperti Bubi sebagai teman, membuka horizon diri saya akan arti persahabatan dan pertamanan. Memberi makna lain bagi diri saya untuk tidak takut berselisih paham dengan teman, karena itu dinamika pertemanan. Dan tidak perlu takut di khianati oleh teman, karena jika hal itu terjadi akan memberikan pemahaman kepada diri kita bahwa teman kita tersebut tidak menjadi destiny kita atas suatu persahabatan.

Terima kasih Bubi untuk personal bbm nya yang mengajak saya menonton recital piano mu. Maafkan saya dan suami, karena kami segera pulang untuk memenuhi work life balance kami lainnya, dan masih ada aktivitas kerja yang tidak dapat kami tinggalkan keesokan harinya. InsyaAllah kebaikan dan pertemanan serta persahabatan yang engkau suguhkan dan berikan kepada kami semua mendapatkan ganjaran kebaikan dan keberkahan dari Allah swt.

Selasa, 01 Februari 2011

“Tulus itu Tidak Mudah”

Oleh: Fifi Fiana (Fiana B. Soegondo)
Cinere, 31 Januari 2011
Posting: fififiana@blogspot.com and face book: fifi fiana


Pada tanggal 4 Januari 2011, kami sekeluarga bergerak kembali ke tanah air dari Dubai setelah berlibur ke beberapa negara dengan menggunakan pesawat Emirates. Tak lekang dalam ingatan saya ketika masuk ke boarding room kelas ekonomi, hati saya agak ciut, melihat begitu banyak Tenaga Kerja Indonesia yang didominasi oleh tenaga kerja wanita atau lebih sering dikenal sebagai “TKI/TKW” di ruangan tersebut. Jika memungkinkan, rasanya saya ingin keluar lagi dan membeli ticket pesawat lainnya dengan basis business class, akan tetapi apa daya, tak mungkin bagi saya untuk membeli ticket lagi, karena saya sedang dalam perjalanan pulang ke tanah air setelah berlibur bersama salah satu travel agent terkemuka di Jakarta.

Dengan perasaan sedikit malas, akhirnya saya masuk juga ke ruang tunggu tersebut. Saya sempat mengobrol dengan satu keluarga etnis tionghoa, yang baru kembali dari Amerika, dimana mereka sempat terdampar dari NewYork karena salju yang diluar kebiasaan.

Ketika tiba-tiba bunyi panggilan untuk naik pesawat, saya sempat menggerutu kepada suami saya-Widy, saya bilang:”susah ya pah, mereka tidak mengerti bahasa Inggeris, padahal khan announcementnya untuk yang duduk di zona “x”, sedangkan mereka duduk di zona “c”. Dengan sikap yang selalu terlihat acuh tak acuh, Widy menjawab: “sudah lah bu, kita gak perlu ngurusin orang lain, yang penting kita tidak melanggar peraturan, coba kamu lihat tidak hanya TKW/TKI itu saja yang melanggar, orang-orang kaya Indonesia yang duduk di economy class karena lebih senang berbelanja juga mereka melanggar tuh… Wong yang bawa anak maksimum usia 2 (dua) tahun yang boleh naik pesawat duluan, lah..itu anaknya sudah pantaran SD kelas IV koq maksa masuk duluan.” Akhirnya daripada jadi ribut dengan suami sendiri, saya memilih diam walau ada sedikit kesal di hati.

Tidak dinyana, ternyata kami berempat duduk terpisah menjadi 2 (dua) baris. Saya dengan suami, lalu kedua anak kami di baris yang berbeda. Yang saat itu membuat hati dan perasaan saya tidak nyaman, karena di sebelah kanan saya yang duduk dekat jendela adalah TKW. Begitu suami saya duduk, ia tertawa-tawa dan mengatakan “kamu kualat fi, sebel ke TKW/TKI, ternyata kamu jadi bersebelahan dengan TKW”.

Hal itu membuat saya tidak nyaman, sehingga akhirnya saya duduk merapat ke suami dan sama sekali tidak mau menoleh ke ibu yang duduk di sebelah kanan saya. Segala macam perasaan bercampur pada saat itu,akan tetapi bukan perasaan bahagia dan lebih kepada perasaan sebaliknya.
Akan tetapi, di luar dugaan saya ternyata ketika saya terlelap sesaat, ibu TKW di sebelah saya membantu saya membukakan meja saya dan menerima makanan untuk saya. Hal itu saya ketahui, ketika tiba-tiba saya terbangun dari tidur, saya melihat beliau sedang berupaya membuka meja lipat di depan saya.
Secara spontan saya bilang “tidak apa-apa bu, saya bisa sendiri koq”, lalu ibu tersebut menjawab “tidak apa-apa bu, karena saya tidak tega membangunkan ibu yang sedang tidur tadi.”

Selesai makan, akhirnya sambil mengucapkan terima kasih, saya bertanya kepada ibu tersebut tentang apakah beliau adalah salah satu dari TKW tersebut? Jika ya, apakah pulang ke Indonesia karena habis kontrak kerjanya. Dengan suara yang lembut dan pelan ibu itu mengatakan bahwa sebenarnya secara ketentuan beliau hanya boleh pulang ke Indonesia adalah 2 (dua) tahun sekali, akan tetapi karena orang tuanya (ibunya) sakit, maka ia terpaksa meminta izin Boss nya untuk bisa pulang, padahal baru 1 (satu) tahun yang lalu ia pulang ke Indonesia.
Dalam pembicaraan tersebut akhirnya saya mengetahui nama ibu tersebut sebagai ibu Ida, beliau bertanya ke saya apakah saya dan keluarga baru pulang jalan-jalan dari luar negeri. Saya katakana kepada ibu tersebut bahwa benar kami baru pulang dari luar negeri ke beberapa negara, karena saya ingin memenuhi janji sebagai orang tua 1 ½ (satu setengah) tahun yang lalu, untuk berlibur ke negara tertentu pada musim salju, karena putra saya mau memenuhi keinginan kami untuk masuk ke Sekolah Islam terkemuka di Jakarta.

Akhirnya ibu Ida, meminta saya membantu menjelaskan beberapa ketentuan dalam bahasa Inggeris kepadanya.
Setelah saya membantu bu Ida, diluar dugaan saya ibu Ida menunjukkan kepada saya 2 (dua) unit blackberry bekas pemberian anak Boss nya, karena Boss nya sendiri sudah berusian sekitar 80 (delapan puluh) tahun, dan ia telah mengabdi di keluarga tersebut selama 10 (sepuluh) tahun. Bu Ida bercerita kepada saya, betapa enaknya menjadi orang terpelajar, karena anak Boss nya bekerja di Perusahaan Minyak di negara “V” dengan gaji jika ditukar ke rupiah bisa mencapai nilai di atas lima puluh juta rupiah. Saya hanya tersenyum saja dan berkata dalam hati “bu..ibu…lugu benar ibu ini, koq tidak bertanya apakah saya kerja atau tidak?? Kalau ibu tahu, saya juga bekerja di industri minyak dan gas bumi Indonesia.”
Secara kasat mata, yang keluar dari mulut saya saat itu adalah nasihat kepada bu Ida “bu.. khan tidak semua TKW di Arab Saudi beruntung seperti ibu, bisa punya majikan dan anak-anak majikan yang baiknya luar biasa. Tolong jangan sampai hp itu terlihat oleh teman-teman TKW lainnya, karena kalau mereka gelap mata, bisa mendorong mereka mencuri handphone itu dari tangan ibu.” Bu Ida hanya menjawab “iya bu, ini juga saya simpan di tas bagian dalam yang ada ritsluiting nya, gak tahu kenapa, koq saya percaya sekali kepada ibu, rasanya saya sudah mengenal ibu lama sekali. Kalau ibu mau tahu, gaji saya 1 (satu) bulan hanya sekitar 2 (dua) juta, memang sedikit jumlahnya untuk ukuran kerja di Arab, akan tetapi untuk saya,kerja itu khan tidak hanya uang semata-mata, akan tetapi kebaikan Boss saya yang menganggap saya sekeluarga seperti keluarganya, untuk saya pribadi nilainya lebih dari 2 (dua) juta rupiah bu”, demikian kata bu Ida kepada saya.

Setelah itu bu Ida menunjukkan kepada saya uang rial, mulai dari pecahan 1 rial, 5 rial, 20 rial dan 100 rial. Lalu bu Ida juga bilang ia sudah menukar rupiah sekitar 1 (satu) juta rupiah. Saya agak terkejut,karena melihat begitu banyak uang tunai yang beliau bawa. Lalu saya bilang: “bu,kalau sekedar ongkos pulang ke Sumedang, rp.500.000 juga rasanya lebih dari cukup, jadi sebaiknya yang 500 ribu lagi disimpan di tempat terpisah. Dan uang rial nya juga jangan dijadikan satu dengan uang rupiahnya, karena kalau itu hilang,maka uang ibu akan hilang semuanya.”

Setelah obrolan itu saya tertidur. Kurang lebih 1 jam menjelang tiba di Jakarta saya terbangun, tahukah anda semua apa yang terjadi pada saya? Tiba-tiba bu Ida mengatakan kepada saya “bu, ibu itu orang baik untuk saya, supaya ibu tetap mengingat saya, saya mau memberi ini untuk ibu”, sambil ia memberikan kepada saya 5 (lima) lembar uang 1 (satu) rial dan 1 (satu) lembar pecahan 5 (lima) rial dan 1 (satu) lembar pecahan 20 (dua puluh) rial.
Sekalipun saya katakan tak perlu, karena sebenarnya saya sendiri masih punya sedikit uang rial di rumah, bu Ida tetap memaksa saya. Akhirnya dengan membaca basmallah, saya terima uang tersebut dari bu Ida, lebih karena saya tidak ingin melukai perasaannya.
Sebagai balasannya, saya berikan juga beberapa pecahan uang euro, uang poundsterling, dollar Amerika, dollar Singapore dan uang dinar Dubai, sambil menjelaskan kepada bu Ida tentang di negara mana saja uang tersebut dapat dipergunakan.
Di luar dugaan saya bu Ida mengucapkan terima kasih dengan mata berkaca-kaca. Lalu beliau mendo’akan kami sekeluarga selalu menjadi keluarga yang sakinah mawahdah warahmah, diberkan limpahan ridho dan ridzki yang manfaat dan halal dari Allah swt. Jika saat itu saya bisa berteriak, menangis dan mohon ampun atas kekerdilan jiwa saya, rasanya ingin saya lakukan saat itu, Rasanya saya adalah manusia sangat kerdil dibandingkan seorang TKW Indonesia di Arab Saudi bernama bu Ida.

Tulisan saya di atas mungkin tidak bermakna bagi anda semua, akan tetapi bagi saya pribadi, setiap kali saya bertemu orang seperti bu Ida, saya selalu bertanya kepada diri saya sendiri “Bagaimana mereka belajar ketulusan?”. Karena ketulusan adalah hal yang tidak mudah, apalagi bagi orang-orang yang tinggal di seputaran Jabotabek dan beraktivitas di seputaran Jakarta. Satu pelajaran hidup lagi saya dapatkan dari seorang TKW Indonesia di Arab Saudi bernama bu Ida. Dengan tingkat kepandaian yang terbatas, dengan kesederhanaannya, beliau mampu memberikan devisa yang halal bagi negara Indonesia, menurut kaca mata saya, beliau adalah agent GCG (Good Corporate Governance), beliau juga adalah agent of change – terutama dalam hal perubahan untuk ketulusan, karena Tulu situ ternyata Tidak Mudah.
Terima kasih bu Ida, kau ajarkan saya satu hal sederhana yang sangat bermakna dalam hidup yaitu sikap tulus kepada siapapun, tanpa mengenal derajat, status sosial ekonomi, suku, etnis maupun agama.

Rabu, 10 Februari 2010

“Kita tidak pernah bisa menentukan cara kita menghadap Sang Khalik”

Oleh: Fifi Fiana (Fiana B. Soegondo)
Cinere, 10 Februari 2010
Posting: fififiana@blogspot.com and face book: fifi fiana


Hari ini, Rabu 10 Februari 2010 – saya masih berada di rumah dan belum kembali bekerja setelah wafatnya ayahanda kami Ir. H. Aradea Atmawidjaja bin Husni Atmawidjaja pada hari Senin (pahing) 8 Februari 2010 sekitar jam 8 pagi dalam usia 76 tahun 3 bulan.

Tulisan ini tidak akan bercerita bagaimana kepedihan hati kami anak-anak yang ditinggal meninggal orang tuanya, akan tetapi saya ingin berbagi cerita sebagai pengalaman hidup kepada siapapun yang membaca tulisan saya ini, bahwa kita – manusia bukanlah penentu bagaimana cara kita menghadap Sang Khalik – Allah swt dan bagamana kita dimakamkan.

Ayah kami adalah keturunan Banten. Dari silsilah keluarga yang pernah diberikan kepada saya pada saat beliau merayakan ulang tahun beliau yang ke 73 tahun, saya baru mengetahui ternyata kami satu garis keturunan dari Sultan Banten ke-6. Mungkin karena kami lahir dan tumbuh besar di alam kemerdekaan Republik Indonesia, kami tidak terlalu memperhatikan lagi pentingnya silsilah keluarga. Itu pun ternyata kami salah, bagaimanapun mengerti siapa leluhur kita, penting bagi kita, untuk kita mengetahui dari mana sebenarnya asal kita. Terutama apabila telah terjadi pernikahan antar suku.

Kembali kepada tujuan saya menulis pagi ini, bahwa selama kurang lebih 6 (enam) tahun saya dan suami pernah mendapatkan kesempatan dari Allah swt untuk mengurus ayah kami dan saudara-saudara saya juga mendapatkan kesempatan mengurus beliau selama 1 (satu) tahun.

Dalam masa 6 (enam) tahun tersebut, Bapak (demikian saya dan saudara-saudara kandung kami memanggil beliau), banyak memberikan informasi kepada saya, terlebih sejak kelas 2 (dua) SMA saya tidak lagi tinggal dengan beliau.

Tidak akan lekang dari ingatan saya ketika beberapa tahun yang lalu beliau memberikan sebuah dokumen kepada saya, sambil memberikan penjelasan “Fi…walaupun sudah tua renta dan tidak memiliki apapun, bapakmu ini pernah mempunyai jabatan yang lumayan di Dinas Tata Kota DKI, sehingga Bapak berhak mendapatkan kavling pemakaman di Pemakaman Karet Bivak dan ini dokumennya, sambil Bapak memberikan semacam kartu warna coklat tua kepada saya,” dan dalam kartu tersebut benar menyebutkan hal yang dijelaskan Bapak kepada saya terkait hak beliau mendapatkan tanah pemakaman di karet – bivak Jakarta bila beliau meninggal. Tiga orang nama anak yang tersebut di dalam kartu tersebut adalah nama adik perempuan saya satu-satunya dan dua orang adik kembar saya yaitu: Sizzya, Dani Prayoga dan Hani Pryangga.

Seperti kebanyakan anak yang menghadapi orang tuanya yang telah tua (dan seringkali kita menganggap mereka telah pikun) saat itu saya terima kartu coklat tersebut dari tangan Bapak dan kemudian saya simpan di laci lemari pakaian saya. Hingga suatu hari saya berikan kartu tersebut kepada adik perempuan kami – Sizzya.

Pertengahan tahun 2008, Bapak juga meminta saya melunasi biaya keanggotaan di Yayasan Bunga Kamboja. Kata beliau saat itu “Fi..Bapak sudah tua dan tidak punya uang untuk membayar keanggotaan Yayasan Bunga Kamboja, jadi tolong kamu bayarkan ya…biar kalau Bapak meninggal nanti, mereka yang akan bantu pengurusan dan insyaAllah prosesnya akan cepat.” Lagi-lagi saat itu saya hanya menjawab dengan singkat “ya Pak” dan sejak itu saya dengan meminta bantuan supir kami, selalu membayarkan iuran Yayasan Bunga Kamboja tersebut.

Beberapa tahun yang lalu juga, ketika setelah Idul Fitri Bapak terkena stroke ringan dan sempat dirawat beberapa waktu d RS Fatmawati Jakarta, saya meminta bantuan ibu saya yang selalu saya panggil dengan mamah untuk membelikan perlengkapan menghadapi kematian, seperti kain kafan, bendera kuning, kan batik dll. Pertanyaan mamah saat itu “ngapain sih teh, kamu beli kain batik, kain kafan dll??” Dengan santai pula saat itu saya menjawab: “jaga-jaga mah kalau Bapak ada apa-2 dan meninggal mendadak, karena khan rumah saya jauh. Kalau ada apa-apa dan Bapak meninggal mendadak – saya pasti kebingungan untuk persiapannya.” Perlengkapan tersebut dengan rapih saya simpan di salah satu lemari yang kami miliki di rumah.

Pada tahun 2009, Bapak juga pernah menunjukkan kepada saya bahwa ia punya bintang gerilya Perang Kemerdekaan, tapi saat itu saya anggap angin lalu. Akan tetapi kemarin hari Selasa 9 Februari 2010, saya baru benar-benar menyadari bahwa bintang gerilya yang Bapak tunjukkan ke saya adalah benar-benar bintang gerilya Perang Kemerdekaan.

Hari Senin 8 Februari 2010, ketika secara mendadak saya mendapat khabar Bapak kritis, dan harus meninggalkan breakfast meeting menuju RS Fatmawati Jakarta, saya bisa terlihat agak tenang ketika meninggalkan rapat. Sampai di bawah jembatan dekat sekolah High Scope TB Simatupang Jakarta, lagi-lagi saya mendapat telepon dari Nonon (demikian saya memanggil adik perempuan saya Sizzya), yang langsung nangis histeris. Saat itu saya hanya mengatakan “Bapak sudah tidak ada ya Non?? Inna lillahi wainna ilaihi rojiuun, iya Non, sebentar lagi teteh sampai di Rumah Sakit.”

Setiba di rumah sakit saya bergegas ke UGD, disitu saya melihat Nonon menangis yang luar biasa dan sulit untuk saya ungkapkan dengan tulisan, demikian juga dengan pembatu yang merawat Bapak kurang lebih 10 tahun terakhir (Imah). Sebagai umat muslim, kata-kata yang keluar pertama dari bibir saya adalah pertanyaan:”Mbak Imah, apakah sebelum Bapak tidak ada, apakah Bapak sempat berdo’a?”. Mbak Imah pun menjawab: “sempat bu, begitu aki merasa lemas, aki terus menerus berdo’a, istigfar, Allahu Akbar, La ilaa ha illalah dan dzikir.” Rasanya hati saya agak tenang, karena walaupun kami anak-anaknya tidak sempat mendampingi beliau, Bapak meninggal – insyaAllah dalam keadaan Islam dengan menyebut nama Allah, amiin.

Setelah itu baru saya melihat jenazah almarhum, yang Alhamdulillah dan subhanallah di mata saya anaknya, wajah almarhum demikian damai seperti tertidur pulas dan semuanya tertutup dengan sangat rapat.

Pertanyaan saya berikutnya kepada Imah saat itu, kalau Bapak sakit, kenapa kami anak-anaknya tidak diinfokan? Ternyata, pagi itu tujuan Bapak ke RS Fatmawati untuk kontrol rutin penyakit diabetes nya yang sudah diderita kurang lebih 40 tahun terakhir, termasuk Bapak juga pengidap jantung koroner. Bahkan menurut penjelasan Imah, Bapak masih sempat instruksi ke Imah soal harus pergi ke lab yang mana, artinya sampai dengan saat menjelang sakaratul maut menjemput – Bapak juga masih bicara.

Dengan segera kami berkoordinasi dengan 4 (empat) saudara laki-laki saya yang lain, untuk memastikan bahwa jenazah Bapak dapat dimakamkan dalam hari yang sama.

Dalam proses tersebut, akhirnya kami memutuskan menggunakan Yayasan Bunga Rampai yang ada di RS Fatmawati, juga kami memutuskan jenazah segera dibawa pulang, dimandikan di rumah duka (kebetulan di rumah kami), dan dimakamkan di taman pemakaman Jeruk Purut Jakarta Selatan. Ketika proses keputusan tersebut diambil, sebenarnya hati saya bertanya-tanya, mengapa Bapak tidak dimakamkan di Karet – Bivak? Kenapa Bapak tidak diurus oleh Yayasan Bunga Kamboja? Dan banyak pertanyaan lain yang muncul dalam diri saya. Akan tetapi, semua keputusan pengurusan dimana Bapak akan dimakamkan – memang saya serahkan kepada 4 orang saudara laki-laki saya.

Ternyata, manusia dapat berencana apa yang harus dilakukan setelah ia meninggal, akan tetapi ternyata ketentuan Allah lah yang tetap berjalan. Almarhum Bapak tidak dimakamkan di Karet – Bivak sesuai haknya sebagai salah satu pegawai dinas Tata Kota DKI dengan jabatan yang boleh dibilang baik pada eranya ataupun di Taman Makam Pahlawan karena beliau pemegang bintang gerilya, dan juga tidak dibantu pengurusannya oleh Yayasan Bunga Kamboja dimana untuk beberapa tahun terakhir almarhum Bapak menjadi anggota.

Dengan diantar banyak sekali kerabat, teman, kolega kerja dari para putra dan putrinya, disholatkan jenazah yang dipimpin oleh anak lelakinya, diterima jenazahnya oleh anak lelakinya dan keponakannya serta dibacakan do’a oleh anak lelakinya, almarhum Bapak dimakamkan dengan lancar di taman pemakaman Jeruk Purut Jakarta Selatan pada hari Senin 8 Feb 2010 sekitar jam 14.00.

Tiba-tiba..terlintas dalam ingatan kami dalam salah satu Majlis Taklim keluarga – ustadz kami ustadz Yahya mengatakan “Jangan pernah merencanakan kematian anda dengan cara tertentu, atau merencanakan nanti jika anda meninggal diurus dengan cara tertentu, karena jika kita meninggal, semua urusan kita, menjadi urusan keluarga yang masih hidup. Kita tidak akan pernah tahu dalam keadaan apa kita meninggal, dimana kita meninggal dan dengan cara apa kita dimakamkan termasuk dimana kita akan dimakamkan.”
Dengan segala kesedihan dihati – sekalipun saya telah ikhlas, hari ini saya menyadari perkataan Ustadz Yahya benar adanya.
Hari-hari ini, dengan kemampuan yang ada, saya dan saudara-2 kandung yang lain hanya bisa mendo’akan almarhum Bapak untuk mendapatkan tempat yanglayak disisi Allah swt dan diampuni dosa-dosanya, amiin. Do’a kami hanyalah Ya Allah berilah kami kekuatan untuk terus dapat mendo’akan almarhum serta mengurus makam almarhum dan dapat mengurus ibu kami yang masih ada dan menjelang 71 tahun usianya, demikian juga dapat mengurus anak-anak kami menjadi anak yang soleh ataupun solehah,amiin

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya, menjadikan hal yang baik sebagai pelajaran yang patut ditiru dan menutup ingatan kita akan hal yang kurang baik. Dan mudah-mudahan kita menjadi orang yang lebih baik dalam ilmu pengetahuan dan agama setiap saatnya, amiin.

Sabtu, 23 Januari 2010

Bapak Arifin Panigoro yang saya kagumi

Oleh: Fifi Fiana (Fiana B. Soegondo)
Cinere, 24 Januari 2010
Posting: fififiana@blogspot.com and face book: fifi fiana

Hari ini banyak orang mengenal nama Bapak Arifin Panigoro – beliau terkenal sebagai salah satu anak bangsa yang berhasil. Jika orang berbicara tentang MedcoEnergi group ataupun PT Medco Energi Internasional Tbk, ataupun nama-nama anak perusahaan yang memakai unsur nama Medco atau MedcoEnergi, maka asosiasi banyak orang selalu langsung kepada beliau – Bapak Arifin Panigoro.

Beberapa hari yang lalu, saya menerima undangan dari Institut Teknologi Bandung (“ITB”), ketika saya buka undangan tersebut ternyata isinya adalah undangan pemberian gelar Doktor Kehormatan dari ITB kepada Bapak Ir. Arifin Panigoro. Walaupun saya berniat ingin hadir, tentunya tetap sebagai seorang istri saya harus meminta izin dan mengajak suami saya pergi bersama menghadiri acara tersebut. Terlebih saya tahu, ketika undangan tersebut saya terima suami saya sedang berada di Bali untuk keperluan dinas dan baru akan kembali hari Jum’at malam atau Sabtu pagi. Akan tetapi, hati kecil saya mengatakan lain, saya yakin suami saya akan mengatakan ‘ya’ untuk hadir di acara tersebut. Alhamdulillah, akhirnya suami saya dapat memberikan konfirmasi, bahwa ia dapat mempercepat urusan pekerjaannya dan berjanji hari Jum’at sore sudah berada di Jakarta. Walhasil, saya sibuk menyiapkan pakaian setelan jas dan baju batik untuk dipakai oleh suami saya dan kebaya untuk dipakai oleh saya sendiri.

Jum’at sore, saya mencoba menelepon mbak Cisca yang lebih dari 20 tahun terakhir melayani pak Arifin Panigoro sebagai sekretaris atau menurut pendapat saya lebih tepat disebut sebagai ‘Personal Assistant’ Bapak Arifin Panigoro untuk melakukan rekonfirmasi tentang pakaian yang harus digunakan. Sangat disayangkan beberapa kali saya mencoba menelepon tidak berhasil, akhirnya saya memutuskan menelepon mbak Dessy Mona – sekretaris Bapak Hilmi Panigoro, yang memberikan konfirmasi kepada saya bahwa pakaian yang harus dikenakan adalah Jas untuk lelaki dan kebaya untuk perempuan.

Jum’at malam kami sudah berada di Bandung, kami langsung istirahat untuk memastikan pada Sabtu pagi kami tidak akan telat tiba di ITB, mengingat saya harus mengenakan kebaya dan datang lebih pagi. Alhamdulillah hari Sabtu 23 Januari 2010, jam 7.50 pagi,kami telah tiba di parkiran aula barat ITB, dan langsung masuk menuju aula barat tempat upacara pelaksanaan pemberian gelar Doktor Kehormatan akan dilaksanakan.

Kebetulan sekali, saya dan suami duduk di sebelah seorang alumni ITB, dari obrolan sebelum dimulainya acara, saya terkaget-kaget mendengar penjelasan alumni ITB tersebut, bahwa ITB sangat sulit memberikan gelar Doktor Kehormatan. Didorong rasa penasaran, akhirnya saya membuka kantong kertas yang diberikan panitia dan diletakkan di setiap kursi undangan, yang isinya buku yang berisikan teks pidato ilmiah pak Arifin Panigoro dengan judul “berbisnis itu tidak mudah” dan buku tentang proses pemberian gelar Doktor Kehormatan tersebut. Satu hal yang luar biasa adalah dalam kurun waktu 60 (enam puluh) tahun terakhir hanya 7 (tujuh) orang yang diberikan gelar Doktor Kehormatan oleh ITB dimulai dengan pemberian gelar Doktor Kehormatan kepada Bung Karno – presiden pertama RI; dilanjutkan kepada Dr. Ir.Sediatmo (jika kita melewati toll ke arah Priok – anda akan melihat nama ini); Prof Dr. Ir. J. Rooseno yang sangat terkenal; Dr Soetardjo Sigit; Dr. Ir. Hartarto Sastrosoenarto (salah satu menteri di era presiden Soeharto) dan Prof Dr Emil Salim yang sangat terkenal sebagai salah satu tokoh lingkungan hidup. Tiba-tiba bulu kuduk saya berdiri, antara rasa bangga, terharu dan lain sebagainya.
Pernyataan beliau bahwa penganugerahan gelar Doktor Kehormatan yang diberikan ITB sebenarnya tidak hanya ditujukan kepada dirinya, akan tetapi juga kepada mereka yang telah memlih berkontribusi kepada masyarakat melalui kegiatan inovatif dengan mendirikan dan mengembangkan usaha yang mandiri. Menunjukkan sikap ‘orang besar’ yaitu orang yang dapat menghargai orang lain bahwa dengan secara tidak langsung (dalam perseps saya), beliau ingin menyampaikan bahwa tidak hanya seorang Arifin Panigoro yang dapat berkontribusi bagi negara tercinta RI ini, tapi juga banyak orang lainnya yang telah melakukan hal yang sama, selain itu pak Arifin juga ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh team yang membantunya selama ini.

Dalam pidato penutupan pun, Rektor ITB menyampaikan bahwa upaya mengusulkan gelar Doktor kepada Ir. Arifin Panigoro dimulai sejak 6 (enam tahun yang lalu). Hal ini membuktikan bahwa memang tidak mudah menjadi orang pilihan mendapatkan gelar tersebut dari ITB.

Hampir 20 tahun bergabung bersama MedcoEnergi group, dimulai dengan perusahaan pengeborang minyak, yang kemudian melakukan IPO dan berkembang kepada banyak usaha lainnya, secara pribadi saya kenal beberapa anggota keluarga pak Arifin dan beberapa teman maupun kolega bisnis beliau, yang ternyata dalam acara penganugerahan gelar Doktor Kehormatan tersebut saya bertemu dengan mereka semua. Sebagian besar saya sempat bertegur sapa secara langsung akan tetapi sebagian lainnya tidak. Yang secara langsung sempat bertegur sapa langsung adalah ibu Yani Rodyat, pak Yunar Panigoro; Bpk Dedi Panigoro; dr Sony Panigoro dan istrinya (keeempatnya adalah adik kandung pak Arifin), lalu Bapak Bambang W. Sugondo, ibu Ade Indira Soegondo, Bapak dan Ibu Askar Kartiwa, (para ipar pak Arifin). Teman-teman dan kolega bisnis pak Arifin antara lain, Ginekolog Winahyo (dokter Awo), pak Wangky, pak Hertriono Kartowisastro, mbak Cisca, pak Winarno dan istri, tante Ida Djuarsa, pak Farid Rahman, pak I Gde Raka, CEO MedcoEnergi, para Direksi serta senior Manager di Lingkungan MedcoEnergi, para birokrat, dll…dll…dll.. Melihat beraneka ragam undangan yang hadir, menunjukkan bagaimana pak Arifin menghargai mereka yang ada di sekelilingnya selama ini.

Selesai acara kami pindah ke aula timur ITB, di tempat itulah kami bisa mengucapkan selamat kepada beliau. Satu hal yang sangat luar biasa setelah 10 tahun terkahir saya secara pribadi tidak bekerja dalam situasi yang berdekatan dengan beliau, beliau tetap mengingat saya dimana secara spontan ketika melihat saya beliau mengatakan “Hai Fi apa khabarnya?? Terima kasih ya..sudah datang ke Bandung hari ini.” Kata-kata yang singkat, tapi rasanya sebagai salah satu pegawai di lingkungan MedcoEnergi group saya merasa seperti mendapatkan air yang sejuk. Betapa dengan sosok besar beliau, beliau masih mengingat saya dan suami saya yang menurut ukuran saya pribadi, saya bukan siapa-siapa dan saya hanya seorang pekerja biasa di lingkungan MedcoEnergi group.

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, saya seperti melihat kilasan balik kebaikan beliau kepada saya secara pribadi, yang mungkn beliau sendiri tidak ingat akan hal itu saat ini. Saya ingat ketika bulan April 1992 saya mengirimkan surat pengunduran diri kepada beliau dan pak Hertriono Kartowisastro, beliau menelepon ke rumah untuk memanggil saya datang ke kantor dan menyelesaikan permasalahan dengan perusahaan dan meminta saya kembali bekerja.
Hal lainnya ketika saya berhasil negosiasi skema pembayaran kepada salah satu vendor PT Apexindo Pratama Duta (“Apexindo”) untuk pembayaran tagihan senilai hampir 1 juta USD, dimana kejadian sebenarnya saat itu, semua orang menghindar menerima telepon dari vendor di Singapura tersebut. Akan tetapi karena saya hanya staff biasa saat itu, maka saya harus menerima telepon dari vendor tersebut. Tanpa berpikir panjang, saat itu saya hanya mengatakan bahwa Apexindo tidak mempunyai uang sebanyak itu, akan tetapi bila boleh membayar dengan cara mencicil 6 s/d 8 kali pembayaran, kami yakin bisa. Akhirnya vendor tersebut mengirim fax dengan merujuk kepada pembicaraan dengan saya bahwa setuju untuk Apexindo mencicil, akan tetapi dikenakan bunga LIBOR + x%. Skema tersebut disetujui oleh Direksi saat itu, termasuk pak Arifin Panigoro. Tanpa diduga oleh saya, suatu hari saya dipanggil oleh Direksi, saat itu ada pak Arifin Panigoro, pak Hertriono Kartowisastro, pak Sugiharto (mantan Menteri BUMN) dan pak Darmoyo Doyoatmojo (CEO MedcoEnergi saat ini), lalu mereka mengucapkan terima kasih atas upaya positif yang telah saya lakukan bagi perusahaan, dan saya diberikan 1 (satu) buah amplop putih. Dimana ketika saya buka, ternyata sebuah check tunai dengan nilai yang luar biasa besarnya saat itu (jika tidak salah ingat nilainya 7.5 juta rupiah).

Kejadian lainnya adalah ketika saya akan menikah dan menyampaikan undangan kepada beliau, saat itu beliau bertanya “kamu mau hadiah apa fi?” Saat itu, jangankan berpikir minta hadiah, duduk berhadapan dengan beliau saja, membuat hati saya ciut, sehingga saya menjawab “Bapak dan Ibu datang ke pernikahan saya saja, sudah merupakan kehormatan besar untuk saya.” Anda tahu apa yang dikatakan beliau saat itu “kamu bodoh fi,kalau saya – pasti akan menjawab rumah atau apapun. Saya minta maaf tidak akan dapat hadir karena pada tanggal yang sama saya harus ke luar negeri, tapi saya pastikan istri saya datang, dan ini hadiah dari saya – yang tentunya nanti istri saya akan memberikan juga hadiah untuk kamu.” Sambil berbicara seperti itu, beliau menulis sebuah check. Lagi-lagi saya ‘shock’melihat nilai checknya. Selain itu di kemudian hari saya mengerti maksud kata-kata bodoh yang dlontarkan pak Arifin, yaitu dengan maksud bahwa kesempatan baik tidak akan pernah datang dua kali.
Walhasil pak Arifin memenuhi janjinya, ketika saya menikah, bu Arifin (bu Isis), Ibu Ade Indira Sugondo dan suaminya pak Bambang W Sugondo hadir pada pernikahan saya, termasuk pak Hertriono Kartowisastro yang hadir dan menjadi saksi pernikahan saya, serta istrinya mbak Rani. Dan benar saja bu Arifin,memberikan saya 1 (satu) set corning ware – brand terkenal untuk perlengkapan masak dan masih sering saya pakai sampai dengan saat ini.

Kejadian lain yang tidak dapat saya hapus dari ingatan saya adalah ketika suatu hari dia menelepon saya ke kantor, meminta saya datang ke toko peralatan golf Hari Brothers di Panglima Polim. Saat itu pak Arifin hanya blang “ambil peralatan yang kamu mau, dan kamu harus belajar golf”. Saat itu saya tidak mengerti, tapi hari ini saya mengerti benar kenapa harus belajar golf. Bahkan di kemudian hari beliau juga memberikan 1 (satu) set stick golf untuk suami saya dengan merk dunia terkenal.
Kejadian yang juga masih melekat dalam ingatan saya, ketika pada tahun 2000 saya harus assignment dari ‘drilling company’ ke PT Exspan Nusantara (saat ini dikenal sebagai PT Medco E&P Indonesia). Rasanya…berat sekali kaki saya melangkah pindah dari kantor di Jl. Ampera –Cilandak Jakarta Selatan, ke Menara Bidakara (saat ini kantor kami di the Energy). Sampai suatu hari mbak Cisca menelepon saya, meminta saya ikut makan siang bersama pak Arifin. Selesai makan siang, saya dipanggil ke meja beliau, menanyakan kondisi Exspan, ketika saya menyampaikan tentang perbedaan kultur kerja, pak Arifin hanya menjawab “karena itu Fi, mereka memerlukan fresh blood seperti kamu.” Penafsiran saya saat itu adalah it’s an order dari seorang owner, yang jika saya tidak setuju, tentunya saya harus mengundurkan diri.

Tahun lalu tepatnya Maret 2009, dalam acara dengan Mitsubishi Corporation, pak Arifin memanggil saya dan menyampaikan terima kasih atas kontribusi saya dan team dalam terwujudnya perjanjian antara MedcoEnergi dengan Mitsubishi Corporation, menjadi kenangan lainnya dalam hidup saya.

Sejujurnya, kata-kata pak Arifin bahwa kesulitan yang dihadapi membuat beliau seperti saat ini, hal itu pula yang terpatri dalam diri saya. Tanpa tantangan dan kesempatan yang diberikan oleh pak Arifin dan pak Hertriono, mungkin hari ini saya masih sama dengan diri saya 20 (dua puluh) tahun yang lalu. Ketika saya melihat ke dalam diri saya saat ini, hanya ucapan rasa syukur kepada Allah swt., diberikan kesempatan berkiprah (walau sangat kecil) di lingkungan MedcoEnergi group, dan mendapatkan kesempatan mengenal banyak pejabat Pemerintah, mengenal banyak jajaran Direksi baik Direksi perusahaan swasta nasional maupun BUMN, merasakan bernegosiasi dengan para pejabat MOGE di Myanmar, menginjakkan kaki di kantor pusat Mitsubishi Corporation di Tokyo – Jepang, berkeliling ke banyak negara dari mulai Singapura, Myanmar, Jepang, Eropa, Amerika Serikat baik untuk urusan pekerjaan ataupun untuk mengikuti program pelatihan dan pengembangan diri bersertifikat terkait industri minyak dan gas bumi.

Secara pribadi saya hanya bisa mengatakan “Terima kasih pak Arifin, I really proud of you – you always inspire me to do my best effort in any activities which I have to do. You are one of few people who is the right person and deserve to have Doctor Honoris Causa from ITB. Congratulations pak Arifin, I am sure you never stop seeking the best way for the benefit of many people who always support you to make sure MedcoEnergi shall be a sustainable company in any climate and offcourse for the benefit and welfare of our beloved country - Indonesia”

Senin, 06 Juli 2009

Indonesiana…Pilpresiana..

Oleh Fifi Fiana
Cinere, 7 Juli 2009

Hari ini kurang dari 24 jam ke depan kita akan sama-sama melakukan hak pilih kita untuk memilih Presiden Republik Indonesia tercinta ini. Terlepas dari pro dan kontra yang ada selama kita masih mau tinggal di bumi Indonesia, selama kita termasuk stake holder di negara Indonesia dalam arti sekecil apapun, terlebih jika secara nyata kita memegang Kartu Tanda Penduduk Indonesia dan atau Passport Indonesia, selayaknya kita memakai hak pilih kita sebagai warga Negara Indonesia. Jangan kita hanya ingin mengisap “madu”dari bumi Indonesia, tanpa mau memberikan hak suara kita sebagai warga Negara. Jika kita hanya senang mengisap “madu”, maka kita juga harus siap suatu saat menanggung resiko bahwa anak keturunan kita nantinya kehilangan makna dari kebanggaan menjadi warga Negara atas suatu Negara berdaulat Republik Indonesia.

Dalam masa kampanye calon Presiden Republik Indonesia (calpres RI), saya termasuk satu diantara sekian warga Negara yang tidak berkeinginan mendengarkan isi kampanye tersebut. Karena secara sudut pandang saya, hal yang wajar jika dalam batas-batas tertentu seorang calpres RI sedikit mengumbar janji, hal yang manusiawi karena “Ia” ingin terpilih sebagai Presiden RI. Mengenai realisasi komitmennya,kita bicarakan nanti. Saya sendiri yakin, banyak warga Negara Indonesia lainnya yang berperilaku seperti saya, karena hal tersebut saya lihat di siaran televisi dalam perjalanan pulang dari kantor. Banyak warga Negara yang lebih asyik menuntaskan makan siang dan atau makan malamnya dibandingkan mendengarkan debat atau pun pidato calpres RI.

Hal yang menarik menurut saya ada dua hal yaitu:
- Seberapa jauh pemahaman setiap warga Negara yang telah memiliki hak pilih tentang pemahaman posisi Presiden bagi Negara Indonesia. Karena di Indonesia siapapun yang terpilih, ia tidak hanya sebagai Presiden yang menjalankan fungsi kepala pemerintahan, akan tetapi ia juga akan menjadi seorang kepala Negara. Secara sederhana dan dengan bahasa yang sangat awam, maka Presiden Indonesia akan merupakan “brand image sekaligus brand ambassador” Negara kita Indonesia, di mata rakyatnya dan di mata dunia.

- Seberapa jauh pemahaman para calpres RI akan UUD 45 dan Pancasila sebagai landasan hidup bangsa Indonesia? Karena kasus industri strategis migas seperti masalah harga gas, kasus blok Ambalat dll serta sistem pendidikan Indonesia yang carut marut, termasuk yang disebutkan di dalam salah satu pasal UUD 45 dan Pancasila. Saya pribadi tidak dapat berkomentar banyak mengenai ini, karena hanya 1-2 pidato dan atau debat calpres RI yang saya lihat melalui layar televisi dan itu pun tidak sampai tuntas.

Mengapa tulisan ini saya beri judul Indonesiana..Pilpresiana…karena saya yakin tidak semua warga Negara memahami fungsi seorang presiden bagi Negara Republik Indonesia. Karena itu saya tulis sebagai Indonesiana….., kemudian jika (karena saya tidak melihat langsung pidato dan debat calpres RI) mempolitisir industri strategis Indonesia dan dunia pendidikan Indonesia…atau janji-janj lainnya yang belum tentu dapat terealisasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun ke depan..mengelitik hati saya untuk mengatakan Pilpresiana….

Hal yang paling menarik, ketika pada pemilu legislatif, saya pergi berlibur dengan keluarga, karena kekecewaan saya dalam mengurus kartu pemilih, lain lagi yang terjadi dengan pilpres RI yang akan dilaksanakan pada hari rabu 8 Juli 2009. Ketika saya menonton televisi sekitar 2 (dua) hari yang lalu, dimana ada parpol yang mengatakan banyak data DPT yang tidak benar, hati kecil saya mengatakan..wajar..jika ketika kita berada pada posisi tidak aman, kita akan berteriak. Ternyata, sebagai warga Negara dan manusia biasa, SAYA SALAH. Karena apa yang dikhawatirkan beberapa parpol adalah benar adanya, hal ini terjadi pada diri saya sendiri. Saya mendapatkan 2 (dua) kertas undangan sebagai pemilih. Saya menjadi bingung,karena itu terjadi untuk 2 (dua) propinsi yang berbeda. Padahal, kami sekeluarga telah menjalankan prosedur yang benar sejak akhir April/awal Mei 2009, kami mengurus untuk menumpang memilih pilpres RI di suatu daerah tertentu, katakanlah kota A. Ternyata apa yang terjadi, benar bahwa surat undangan memilih calpres RI kami terima dari kota A, akan tetapi di sisi lain, saya sebagai salah satu anggota keluarga dalam KK yang dikepalai oleh suami saya,masih menerima undangan sebagai pemilih pilpres RI dari kota B, tempat secara legalitas warga Negara kami berada. Di sisi lain suami saya tidak lagi menerima undangan memberikan hak pilih pada pilpres RI 2009.
Kejadian yang saya alami ini, menjadikan saya salah satu saksi sejarah pilpres RI 2009 adanya DOUBLE DPT yang tidak sempat diperbaiki oleh KPU. Sedangkan ribuan mungkin jutaan warga Negara lainnya yang mempunyai hak pilih tidak dapat memakai hak pilihnya karena tidak menerima undangan untuk memberikan suaranya dalam pilpres RI 2009 ini.

Salah satu kejadian di depan mata saya lainnya yaitu mereka yang sedang bepergian ke luar negeri atau luar daerah. Secara sederhana dalam kaca mata saya sebagai warga Negara RI, seharusnya hal tersebut dapat tertangani. Seharusnya sejak 9 April 2009, setiap warga Negara RI yang bepergian ke luar negeri ditanyakan kapan akan kembali dan akan berada dimana mereka pada tanggal 8 Juli 2009. Jika ternyata mereka berada di luar negeri, maka seharusnya pada saat melewati meja imigrasi, warga Negara RI tersebut dapat diberikan surat undangan pilpres RI 2009 dan dinformasikan tempat pilpres R di kota dan negara tempat mereka bepergian. Tapi..lagi-lagi ini adalah Indonesiana…Pilpresiana..Salah satu anak teman saya mengalami hal ini karena sejak bulan Juni 2009 yang lalu pergi berlibur ke Negara adidaya Amerika Serikat dan baru akan kembali ke Indonesia pada minggu ke-4 bulan Juli 2009. Jika generasi muda Indonesia sudah tidak terikat dengan komitmen kebangsaan dan politik Indonesia, bagaimana kita akan mencapai lompatan yang tinggi dari suatu kemajuan bangsa,lagi-lagi ini hanyalah sebuah pemikiran sangat sederhana dari seorang warga Negara RI.

Apapun semboyan calpres RI 2009: Ekonomi Kerakyatan; Lanjutkan dan Lebih Cepat Lebih Baik, semuanya pasti ada nilai baik-buruknya, semuanya pasti ada unsur mimpi yang ingin direalisasikan..semuanya pasti tak akan terlepas dari kepentingan-kepentingan. Teror sms (saya katakana terror karena saya tak kenal siapa pengirim sms) kepada saya sejak minggu malam menunjukkan 2 diantara 3 calon pilpres RI dan team sukses nya melakukan hal yang manusiawi (paling tidak di mata mereka) untuk memenangkan kesempatan 5 tahun yang ada di depan mata mereka. Hanya satu calpres RI dan team suksesnya, yang paling tidak untuk saya pribadi tidak mengirimkan terror sms. Walaupun dari 2 pidato dan atau debat calpres RI, terkesan calpres RI yang satu ini seperti kurang diperhitungkan.

Pada akhirnya menyambut hari pemberian suara pada pilpres RI 2009, sebagai warga Negara RI, saya hanya bisa berdo’a:
- Ya Allah berikan kami Presiden yang memberikan asa kepada Negara dan bangsa Indonesia bahwa kita bisa jalan ke arah continous improvement yang positif dan bukan hanya untuk kepentingan kelompok.
- Ya Allah berikan kami Presiden yang memberikan perhatian sangat besar dan serius kepada dunia pendidikan, tanpa harus menjual semboyan sekolah gratis. Karena jika sekolah gratis, maka tidak hanya biaya SPP yang gratis, akan tetapi alat-alat tulis,pakaian seragam, alas kaki, biaya transportasi ke sekolah dll tentunya harus gratis juga. Kemajuan dunia pendidikan akan memberikan dampak positif bagi bangsa dan Negara Indonesia 30 tahun ke depan.
- Ya Allah, jika Presiden terpilih dan teamnya, ternyata bukanlah individu-individu yang amanah, bukakanlah itu kepada kami warga Negara RI, karena kami menggunakan hak pilih kami untuk kebaikan bangsa dan Negara Indonesia. Berikanlah mereka peringatan yang paling adil menurut ukuran Mu ya Allah.
- Ya Allah, jika Presiden terpilih bukanlah seorang pemersatu bangsa, berilah kesadaran padanya nantinya bahwa fungsi pemersatu bangsa merupakan salah satu amanah dari para pemilih calpres RI 2009.

Tulisan ini hanya sebagai ungkapan perasaan saya sebagai seorang warga negara, apa yang terjadi pada saya secara teori statstik sample random sampling maupun correlation factor tentunya belum dapat mewakili apa yang terjadi pada masyarakat dan warga negara Indonesia lainnya. Akan tetapi paling tidak, untuk mengingatkan teman-teman semua, bahwa ketika akan memilih bacalah do’a sesuai keyakinan agama kita masing-masing, karena hak suara yang kita berikan berjangka waktu 5 (lima) tahun ke depan bagi Negara RI. SAtu hal lagi…jangan harapkan perubahan terjadi seperti negeri 1001 malam. Perubahan ke arah yang baik memerlukan waktu, komitmen, kerja keras dan kejujuran, amiin.